(D-11) Summer Rain

929 138 15
                                    

Selama ini aku selalu berpikir, untuk apa aku dilahirkan ke dunia? Atas dasar apa aku diciptakan sementara kehadiranku pun sama sekali tak diharapkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selama ini aku selalu berpikir, untuk apa aku dilahirkan ke dunia? Atas dasar apa aku diciptakan sementara kehadiranku pun sama sekali tak diharapkan.
— Park Jihoon

Kesedihan, kehilangan, dan penderitaan akan membawa kita pada arti hidup yang sesungguhnya. Dan semua itu akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih tegar dan kuat dalam menjalani segala rintangan dan cobaan dalam hidup.
— Bae Jinyoung

— sᴜᴍᴍᴇʀ ʀᴀɪɴ —

Warna pekat merajai langit sore itu. Bias-bias sang mentari terlihat samar tertutupi oleh sang awan kelabu yang menggantung di kaki langit. Hembusan angin kencang serta awan kelam bergesekan menimbulkan sebuah kilatan cahaya putih mengerikan diiringi suara petir yang saling sahut menyahut sepersekian detik—sanggup menggetarkan jantung lebih cepat dari biasanya. Rintik hujan membasahi bumi perlahan, dengan alurnya yang selalu sama, hujan selalu berhasil membuat setiap sudut kota basah karenanya.

Derap langkah kaki yang terburu-buru terdengar di tengah hujan yang kian menderas, bahkan suara nya nyaris tertelan oleh bunyi air yang beradu dengan jalan. Pemilik kaki tersebut adalah seorang pemuda berusia sembilan belas tahunan dengan rambut yang disemir kecokelatan.

Payung hitam yang ia genggam rupanya tak bisa melindunginya dari hujan. Berkali-kali ia menggeser posisi payung ke depan atau ke belakangnya, berusaha agar hujan tidak semakin membasahi pakaiannya.

Jaket tebal yang ia kenakan tak sanggup menghangatkan tubuhnya dari terpaan angin yang berhembus kencang. Udara dingin serta percikan air hujan yang terbawa angin dan menerpa wajahnya mengundang rasa kantuk luar biasa. Kedua matanya terasa berat, seakan-akan kelopak matanya ingin menyatu satu sama lain.

Ekor mata pemuda tersebut menangkap sebuah kursi panjang di pinggir jalan. Ingin rasanya ia duduk di kursi itu untuk mengistirahatkan diri sejenak, tapi tak bisa. Setidaknya, tidak untuk saat ini. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya sekarang. Sebuah kekuatan yang entah dari mana datangnya, mendorong pemuda itu untuk mempercepat langkah kakinya.

Langkah kakinya membawa pemuda tersebut ke pemukiman sepi yang berada jauh di pinggir kota. Ia berhenti di depan sebuah rumah tua sederhana. Perlahan ia membuka pintu rumah yang terlihat usang hingga menimbulkan suara decitan. Dengan susah payah pemuda itu mengatur nafasnya yang tersengal-sengal sehabis berlari tadi. Mencoba memberi asupan oksigen ke dalam paru-parunya.

Setelah memastikan nafasnya kembali normal dan teratur, ia melangkah perlahan menyusuri rumah itu. Kedua bola matanya bergerak liar, mencari dan menelisik setiap sudut yang ada. Berharap menemukan apa yang ia cari. Pemuda itu terhenyak saat melihat pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Tanpa pikir panjang, ia segera menerobos masuk ke kamar.

"Park Jihoon." panggilnya pelan. Suaranya tercekat saat melihat sesosok tubuh yang tengah meringkuk lemas di sudut ruangan. Sesekali wajah dan telinganya ia tutup saat petir menyambar. Jihoon—begitulah ia dipanggil—kembali meringis ketakutan.

The Last - Wanna One ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang