PROLOG

13.7K 379 16
                                    

Prolog

(Tentang sebuah Perjodohan)

Semua orang mungkin pernah jatuh cinta. Baik cinta yang dipendam dalam diam, atau yang diungkapkan secara terang-terangan. Cinta yang hanya muncul sesaat atau telah mengakar dalam relung, kuat-kuat.

Setiap orang pasti berharap bisa segera menemukan cinta sejati dalam hidup. Namun hingga kini, belum pernah terdefinisi secara pasti, apakah cinta sejati itu?

Yang aku tau, Hubbul Haq alias cinta sejati itu hanyalah milik Tuhan semesta alam. Cinta tanpa pamrih. Cinta setia yang bisa diterima oleh semua makhluq di dunia. Tanpa pernah menilai perbedaan warna, agama ataupun strata.

Cinta yang tidak pernah menyakitkan, namun menyembuhkan. Cinta yang tidak pernah menjatuhkan, namun membangkitkan. Cinta yang tidak pernah mengurangi namun menggenapi. Sebuah kesetiaan cinta yang tidak terhitung jumlahnya.

Nafas yang terhela, bola-bola mata yang terbuka, senyuman yang merona dan jantung yang istiqamah memompa adalah wujud kesejatian cintaNya.

Tapi, tidak sedikit orang yang menukar kesetian cinta Tuhan dengan kesetiaan cinta yang dijanjikan oleh manusia. Saat mereka mabuk kepayang karena jatuh cinta, serasa dunia milik berdua. Jangankan manusia lainnya. Tuhanpun serasa tidak ada.

Itulah mengapa aku tidak bernah berpikir untuk bisa jatuh cinta. Aku hanya selalu berharap segera bisa bertemu dengan jodoh setia. Dia yang namanya sudah Allah sandingkan dengan namaku di Lauh Mahfudz sana, dalam kurun waktu milyaran tahun lamanya. Tersebab, seseorang yang aku cintai belum tentu menjadi jodoh ku. Namun jodohku, adalah seseorang yang wajib aku cintai. Dan cinta pada dia akan senantiasa mengalir indah, apabila aku sudah sepenuhnya menyerahkan cintaku pada-NYA.

Bicara soal jodoh aku menjadi terigat kisah siti Nurbaya dan si tua Datuk maringgi. Sebuah sistem perjodohan yang terngiang sepanjang zaman. Diceritakan bahwa perjodohan itu adalah sesuatu yang menyeramkan, menakutkan, penuh keterpaksaan dan tekanan. Sehingga tak jarang anak-anak muda jaman now getir ketika mendengar kata perjodohan.

But for me?

It is not a problem.

Sebagai salah satu hamba Allah yang lahir di keluarga yang cukup paham dengan aturan agama, aku sudah terbiasa dengan sistem perjodohan. Bagiku cinta akan tumbuh subur pada ladang yang sudah dipetakkan semesta. Percuma jatuh cinta, jika pun pada akhirnya tidak di restui keluarga. Percuma jatuh cinta jika pun ending-nya tidak diridhoi sang kuasa.

Kesakralan tradisi keluarga ku yang mengikat. Secara halus melarang ku untuk jatuh cinta. Jodohku tidak ditentukan pada bagaimana aku mencintai seseorang. Namun, ia akan ditentukan oleh bagaimana istikharah keluarga besarku berbicara.

Seberapapun aku jatuh cinta, seberapapun aku memperjuangkannya dalam doa-doa, non scene. Karena selain ada ditangan Tuhan, jodoh ku juga ada pada keputusan keluarga besarku. Meski begitu aku teramat menyukai tradisi perjodohan ini. Akan seperti apapun konsekuensinya.

Tradisi perjodohan memang sebuah tradisi yang sudah dianggap tabu oleh kaula muda. Mereka menganggap perjodohan adalah sesuatu hal yang menakutkan; Bertemu Datuk Maringgi, dipaksa menikah diusia dini, tanpa cinta tanpa rasa sedikitpun dihati.

Tapi bagiku tidak, perjodohan adalah Sebuah pertemuan indah dua insan yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya, tidak pernah sekelebatpun berpikir tentang aura wajahnya, dan hanya akan bertemu di saat malam pertama. Bagiku, itu indah.

Dua orang pemuda akan saling jatuh cinta mana kala kehalalan sudah ada dalam genggaman. Lagi pula, orang tua mana yang tega menjerumuskan anak-anak mereka kejalan yang salah? Sebelum menjodohkan anaknya, mereka pasti sudah berpikir ribuan kali akan hal itu.

Selayaknya Fathimah Az-zahra yang dijodohkan oleh Rasulillah dengan seorang Ali bin Abi Thalib r.a. Mereka berdua adalah orang-orang suci yang tidak pernah mengumbar rasa cinta dihati mereka. Mereka dengan sabar menunggu dalam kepatuhan. Sehingga DIA yang di langitpun ikut andil dalam perjodohan mereka berdua.

Sebagai mahasiswi yang memiliki predikat the queen of destiny karena sering membantu teman-teman menemukan jodoh mereka, akupun juga ikut terperangkap pada sebuah perjodohan. Perjodohan yang sudah dilakukan oleh kedua orang tuaku sejak sebelum aku lahir.

Lalu, apakah aku harus menerimanya, menikah dengan seseorang yang sudah lahir jauh sebelum aku lahir?

Aah, aku tidak bisa membayangkan jika harus menikah dengan seseorang yang usianya jauh berada diatasku. Dia pasti sudah setua pak Bashir direktur perpustakaan yang setiap pagi suaranya memenuhi telingaku. Atau seperti pak Syamsyul, karyawan perpustakaan yang wajahnya mirip sekali dengan wajah pemain film datuk maringgi.

Dilema, antara keinginan dan kepatuhan.

Tuhan, mengapa patuh harus se-patah ini?

Tapi, tunggu..!

Dosen seribu pesona?

Apakah dia bisa mewujudkan mimpiku-mimpiku menuju negeri seribu satu malam, sekaligus menjadi batu loncatan agar aku bisa melanjutkan studiku yang sudah lama aku idam-idamkan?

Untuk tanah Maroko, terimakasih telah membuka mataku untuk kesekian kali.

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now