PART 7

4.3K 202 2
                                    

Setelah hampir seharian diperpustakaan, aku memutuskan untuk pulang. Kulihat pak Syamsyul berdiri dipintu seolah hanya menunggu ku karena perpustakaan sudah terlihat sangat sepi. Hari ini akhir pekan, tak banyak mahasiwa yang datang. Sepertinya mereka ingin menikmai hari libur tanpa buku, besok.

"Pulang, neng?" pak Syamsyul menyapaku.

"Iya, pak. Sudah beres semua kan, pak? Maaf ya, saya tidak bantu tadi, soalnya tugas skripsi numpuk pak."

"Iya, neng, ndak apa-apa. Oh iya, ada yang nunggu neng Yasmin diluar."

"Siapa, pak?"

"Kurang tau neng, perempuan."

"Oh ya, terimakasih pak," aku segera keluar, perasaaku kurang nyaman. Siapa perempuan yang ingin bertemu denganku itu?

"Yasmin!" Ajeng memanggilku dari kejauhan. Dia berjalan kearahku sambil melempar banyak pertanyaan.

"Kamu tega banget sih sama Jamal. Dia apa kurangnya coba? Cinta dia itu tulus sama kamu, bahkan dia nolak beberapa perempuan hanya karena dia ngejar-ngejar kamu. Apa sih alasan kamu tidak nerima dia? Dia punya segalnya. Kamu kurang apa dari dia?"

"Maafkan saya Jeng, saya tidak bermaksud begitu! Saya hanya belum siap dengan semua itu, tujuan saya kesini kuliah bukan untuk pacaran."

"Tapi Jamal ngajak kamu nikah bukan pacaran, Yasmin. Lalu apa lagi alasan kamu?"

Aku terdiam membisu, aku mengambil nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ajeng, "Jeng, umi saya selalu bilang, jangan pernah memulai sebuah hubungan yang kita sudah tau bahwa hubungan itu tidak akan ada ujungnya. Dari pada kita sama-sama tersakiti pada akhirnya, maka akan lebih baik jika kita tidak memulainya."

"Dari mana kamu tau kalau hubunganmu dan Jamal tidak akan berujung? Apa karena kasta diantara kalian? Aku sempat mendengar bahwa kamu masih keturunan priyai, semenatra Jamal hanya orang biasa, Apa begitu?"

"Bukan begitu, Jeng. Saya bisa saja menikah dengan siapapun, tapi bagaimana dengan keluarga saya?"

"Ada apa dengan keluargamu? Mereka tidak suka jika anaknya harus menikah dengan lelaki yang tidak selevel dengan keluarganya? Karena kalian dianggap tidak sekufu, bukan?"

"Benar!!" ustadz Yusuf memecah perseteruanku dengan Ajeng. Sepertinya dia mendengar percakapan kami sedari tadi.

"Rasulullah menganjurkan kita menikah dengan orang yang sekufu dengan diri kita. Jamal tidak sekufu dengan Yasmin. Jadi jangan pernah lagi ganggu Yasmin!"

"Tapi ustadz, cinta itu tidak memandang kasta."

"Tapi Yasmin tidak mencintai Jamal, mengapa harus dipaksa?"

Ajeng diam..

"Maafkan saya ustadz!" Gadis itu meminta maaf, lalu pergi. Ustadz Yusuf melihatku sejenak, lalu mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Alasan saya menolak Jamal bukan karena kami tidak sekufu ustadz, tapi karena saya tidak suka dengan akhlak dia. Sekufu atau tidak sekufu tidak akan menjamin sebuah rumah tangga akan bahagia. Karena takaran kebahagiaan dalam hidup adalah tingginya taqwa bukan tingginya sebuah kasta," aku mematahkan teori ustadz Yusuf.

Aku sedikit tidak suka dengan pernyataan dia tadi. Meski aku tau, dia melakukannya karena terpaksa supaya Ajeng tidak lagi memburuku. Tapi tetap saja aku tidak suka.

"Saya paham, maafkan perkataan saya tadi. Saya terpaksa melakukan itu supaya dia tidak mengganggu kamu lagi. Sabar ya, dengan sikap orang-orang itu! Mereka tidak akan berhenti sampai kamu bertemu dengan jodohmu nanti. InsyaAllah kamu akan segera mendapatkan jodoh terbaik, Yasmin!" ustadz Yusuf tersenyum teduh. Senyumannya berbeda dari biasanya. Dia kemudian meninggalkanku sebelum aku mengucapkan terimakasih padanya.

Lagi-lagi ustadz Yusuf hadir disaat yang tepat, disaat aku benar-benar membutuhkan sebuah bantuan dari seseorang. Apakah ini hanya sebuah kebetulan, ataukah dia memang Allah kirimkan untuk menjaga ku dari si Jamal?

Ah, aku tidak habis fikir mengapa di dunia ini harus ada manusia bernama Jamal? Dia mahasiswa jurusan dakwah tapi dia tidak tahu bagaimana cara mendakwahi dirinya sendiri yang telah jelas-jelas salah. Memaksakan orang lain agar mencintai dia, apa mungkin bisa? Sementara cinta itu tidak bisa dipaksakan, jika seseorang benar-benar jatuh cinta, dia akan membiarkan orang yang dia cinta bahagia bukan menderita karena terpaksa. Setidaknya, jika tidak bisa menjadi rembulan dimalam gelap seseorang, janganlah menjadi awan hitam disiang teriknya. Karena sama saja, kehadirannya sama-sama tidak di inginkan.

Matahari mulai turun kearah barat, bayang-bayang tubuhku mulai condong kearah timur. Waktu sudah hampir sore, aku memutuskan untuk segera pulang kerumah. Tiba-tiba ponselku berdering kencang, terlihat sebuah panggilan what's app dari sayyid Bahar.

"Assalamu'alaikum, Yasmin," suara Sayyid Bahar terdengar jelas ditelingaku.

"Wa'alaikum salam, bib."

"Yasmin, enti bisa ke masjid sekarang? Ada yang harus saya bicarakan dengan enti."

"Sekarang, bib?"

"Iya, sekarang, bisa?"

"Bisa insyaAllah bib, tapi saya pamit dulu ke umi karena hari ini saya tidak memiliki jadwal ngajar disana, takut umi khawatir jika tidak izin dulu."

"Oh, iya, harus itu. Nanti kabari saya ya jika diizinkan atau tidak diizinkan oleh umi enti, Assalamualaikum."

"Baik, bib, Wa'alaikum salam."

Aku termenung sejenak, ada apa ini? Mengapa tiba-tiba sayyid Bahar menyuruhku datang ke masjid mendadak? Apa ada sesuatu yang tengah terjadi?

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now