PART 23

4.1K 210 3
                                    


Minggu sore Ziyad mengajak Alfin makan bersama disalah satu restoran terdekat. Dia ingin merayakan keberhasilan proyeknya bersama dengan bos besarnya itu. Perusahaan Alfin yang bergerak dibidang properti mengalami kenaikan profit. Keuletannya dalam menghandle perusahaan dan kesolidan para karyawannya membuat perusahaan Alfin mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Ziyad memesan beberapa menu makanan. Pria itu terlihat seperti ingin berpesta lantaran merasa usaha kerasnya selama ini tidak sia-sia. Dengan lahapnya dia menyantap menu-menu yang sudah tersaji dimeja.

Sementara Alfin hanya dengan secangkir cappuccino dan fried potato kesukaannya. Pria itu memang tidak hobi makan. Baginya secangkir kopi dan beberapa potong kentang atau tempe saja sudah cukup untuk sekedar membangkitkan energi terpendamnya.

"Busyeet, ente yakin cuma pesan ini, Fin? Masa cowo tajir yang suka ganti-ganti mobil makannya cuma kentang? Hehe," ledek Ziyad saat melihat menu makanan Alfin yang sangat sederhana.

"Hidup itu bukan hanya soal makan, Zi."

"Tapi gak akan ada kehidupan kalo gak ada makanan, bro. Buat apa harta ente yang banyak itu kalo gak buat makan?"

"Harta itu gak semuanya milik ane kok, Zi. Ada milik orang-orang miskin dan anak-anak yatim juga yang Allah titipkan untuk ane."

"Dari pada dikasih ke orang-orang miskin yang males kerja itu, mending ente kasih harta ente sama anak dan isteri ente, Fin. Berpahala juga kok. Makanya ente jangan kelamaan nge-jomblo, nikah, nikah!!" Ziyad mulai menggoda Alfin yang sama sekali tidak menghiraukannya karena sedang sibuk dengan komputernya.

"Komputer terus dipacarin, kapan ente punya pacar?"

"Ane gak tertarik buat pacaran, Zi." tukas Alfin sambil terus menatap layar monitor.

"Loh? kenapa, bro?" Ziyad tersendak saat mendengar jawaban Alfin. Sambil mengelap bajunya yang basah karena tumpahan air. Dia melongo menatap Alfin yang masih setia dengan layar monitornya.

"Pacaran itu berat, Zi."

"Berat apanya, bro?"

"Dosanya, ane takut gak bisa menaggungnya kelak."

"Hmh, gini nih kalo punya temen seorang ustadz, pewaris sebuah pesantren besar di Kudus. Ceramah terus, jomblo terus!" Ziyad terlihat kecewa dengan respon Alfin yang nampak dingin.

"Saya jomblo bukan karena saya tidak pacaran, Zi. Tapi karena memang Allah belum mempertemukan saya dengan dia."

"Hmh, tapi kita harus ikhtiar, Fin."

"Ikhtiar bukan berarti lewat pacaran, Zi."

"Ok, ane ralat, bukan pacaran, tapi ta'arufan."

"Pacaran berlable ta'arufan maksudnya? Sama saja Zi. Mereka yang mengatasnamakan hubungan mereka dengan ta'arufan itu hanya mereka yang tidak ingin dianggap pacaran, kontennya, sama saja seperti pacaran."

"Emang susah ya bicara sama jomblo yang udah akut."

"Terimakasih, saya bangga dengan sebutan jomblo akut, setidaknya saya tidak melanggar larangan Allah selama saya hidup."

"Huuh, salah lagi ane, ya udah lah terserah ente. Kalo ente gak mau ikhtiar sendiri biar ane aja yang bantu ikhtiar. Ane gak tega liat temen ane jomblo sampe hampir tiga puluh tahun."

Alfin melihat tajam kearah Ziyad, "Terserah ente, makasih karena mau luangin waktu buat ane, temen ente yang jomblo akut ini," Alfin mengggulung sebuah tissue dan melemparkannya kearah Ziyad. Ziyad menutup wajahnya dengan buku menu yang ada didepannya.

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now