PART 12

4.2K 211 1
                                    

Aku kembali keperpustakaan bersama Syifa dan Shireen setelah mengikuti mata kuliah gus Alfin pagi ini.

"Saya sangat menyukai mahasiswa yang berakhlaqul karimah, menunduk patuh ketika didepan dosen. Tapi bukan berarti harus menutupi wajahnya, dan tidak menyimak penjelasan dosennya, hahaha," Syifa meledek ku sambil terus mengulang-ulang kata-kata gus Alfin.

"Udah, gak usah diulang-ulang!" aku menatap Syifa kesal.

"Dia itu keren banget ya, udah pinter, tajir, hafidz Quran, keturunan orang besar, direktur perusahaan, tampan lagi," ungkap Shireen memecah perseteruan antara aku dan Syifa.

"Keren apanya, ponselku saja di cu--," aah, aku salah bicara, buru-buru ku tutup mulutku didepan Syifa dan Shireen. Mereka saling bertatapan curiga.

"Cu? Cu apa, Yasmin?" Shireen seolah penasaran dengan lanjutan kata-kataku.

"Aah, itu. Cuma, cuma biasa aja maksudnya,"

"Alaah, biasa aja gimana, tadi kamu sampe nutup muka gitu didepan dia, kenapa coba? Terpesona ya?" ledek Syifa.

"Kalau aku sih yess," sergah Shireen sambil tersenyum.

"Ciee, Shireen suka ya?"

"Sepertinya begitu, Fa. Ini akan menjadi caraku supaya aku bisa benar-benar move on dari Raffi," Shireen tersenyum sumringah kearah ku dan Syifa.

"Ciee bravo sista! Kami akan selalu ngedukung kamu. Iya kan Yasmin," Syifa mengangkat lengannya tanda memberi semangat.

"Hm? I.. iya pasti itu," Aku menawab pertanyaan Syifa ragu-ragu. Entah apa yang terjadi dengan diriku, mengapa dadaku sedikit terasa sesak mendengar kata-kata shireen? Aargh, jangan bilang aku cemburu? Masa ia aku cemburu pada pria galak dan sudah mengambil paksa ponselku itu? Aku kan baru bertemu dengannya, masa ia sudah....? Aah, Tidak, tidak, tidak..! ini pasti hanya perasaanku saja.

"Yasmin, bapak tirimu manggil tuh, hehehe," Shireen membuyarkan lamunanku.

Dari kejauhan, ku lihat pak Bashir melambaikan tangan kearahku. Aku segera menghampirinya.

"Njih pak, ada apa ya?"

"Ada telepon buat kamu, ponsel mu dimana, kok dari tadi tidak aktif-aktif?"

Aku mulai mengingat-ingat dimana ponselku, "Ah, itu pak, ponsel saya tidak sedang saya pegang," aku menyembunyikan bangkai ponsel gus Alfin dibelakang tasku. Sambil berusaha untuk tidak membelakanginya. Atau dia akan melihat ponsel gus Alfin ditanganku.

"Ok, cepetan sana masuk keruangan saya, kasihan yang nunggu!"

Aku mengikuti saran pak Bashir untuk masuk ke ruangannya.

"Halo mbake Yasmin? Kemana aja toh, Ponsel ne samean iku loh ndak aktif-aktif?" Terdengar suara khas Hanif, pemuda penjaga masjid Ar-Rahman yang setiap hari setia berada di masjid.

"Oh, antum Nif? Ada apa?"

"Nganu mbak e, kemarin itu ada yang nemu buku ne mbak Yasmin di taman masjid. Tapi orang itu ndak bisa nganterin bukunya karena ndak sempet katanya mbak. Untung dia punya no telepon saya mbak. Akhire dia ngasih tau saya supaya buku ne mbak Yasmin di ambil gitu mbak."

"Alhamdulilah, terus saya harus ambil buku saya dimana katanya, Nif?"

"Kemarin tak suruh ambil dirumahnya. Tapi sekarang tak suruh ambil di taman air mancur Universitas Darul Falah katanya mbak e."

"Darul Falah? Itu kan kampus saya Nif, bercanda antum ya?"

"Oladalah, ndak to mbak, serius saya mbak. Ya mungkin mas ganteng itu emang kuliah disitu juga mbak."

"Oh, begitu? Baik, Saya akan kesana sekarang. Syukran infonya ya, Nif!"

Hatiku senang sekali mendengarnya. Akhirnya diary dan buku 1001 malam ku akan segera kembali. Sebelum keluar dari ruangan pak Bashir aku menyempatkan diri menuju ruang referensi melihat koran hari ini.

Tapi, koran hari ini habis. Rupanya para dosen sudah memadati ruang referensi. Koran-koran ter-anyar hari ini habis degan cepatanya.

"Habis ya korannya? Ini masih sisa satu!" seorang lelaki paruh baya yang berdiri disampingku menawarkan.

"Emm, saya hanya mau melihat kolom cerpen saja pak, siapa tau cerpen saya terbit."

"Oh, biar saya lihatkan," Pria paruh baya itu mencarikan halaman ke 39 yang biasa menjadi tempat cerpen dan puisi berada.

"Namamu siapa?"

"Yasmin pak," lelaki itu tiba-tiba menoleh kearahku dengan tatapan kaget. Lalu dia kembali menatap koran yang dia pegang sambil tersenyum. Senyumnya? Ah, mirip sekali seperti senyumannya habib Musthofa, habib terkenal dari Yaman yang terkenal kezuhudannya itu. Aku merasa familiar dengan lelaki didepanku ini, tapi entah dimana aku melihatnya. Dia membuka lembaran koran satu demi satu dengan halusnya. Seolah memiliki hati tenang yang penuh. Siapa lelaki paruh baya ini, mengapa aku seolah telah lama mengenalnya?

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now