PART 26

3.8K 195 14
                                    


"Sudah tua, harusnya menghabiskan waktu dirumah. Bukan menghabiskan waktu dengan gadis-gadis muda, huh!" dengus Alfin kesal.

"Benar, abi ini sudah tua. Abi hanya ingin sekali bisa bertemu dengan orang orang yang ramah, yang bisa menghargai abi dan menganggap abi ada. Gadis itu ba.... "

"Tapi tidak harus dengan perempuan itu juga, kan?!" potong Alfin.

"Semenjak umimu meninggal, abi tidak pernah lagi bicara dengan perempuan."

"Ooh, bagus. Jadi sekarang sudah mulai punya keinginan bicara dengan perempuan?"

"Iya." Alfin menatap tajam keujung jalan sementara tangannya terkepal di ujung setir mobil.

"Waktu abi tidak banyak. Sebelum abi pulang ke rahmatullah, abi ingin sekali bisa melihat kamu memiliki seorang wanita disisimu. Dia yang akan menjadi suara terlembut dirumah kita. Dia yang bisa memasak untuk kita. Dia yang akan merapikan bajumu ketika akan berangkat kerja, dan merawat cucu abi nantinya. Abi ingin segera punya cucu, Fin. Setidaknya abi bisa melihat penerus generasi pesantren abi dimasa depan."

Alfin terdiam, matanya berkaca-kaca menatap bayangan ayahnya di kaca depan.

"Cucu? Apakah dengan gadis itu?"

Alfin bingung tidak karuan. Rupanya dia sudah salah paham. Dia mengira bahwa ayahnya sedang bermain api dengan Yasmin, padahal kenyataannya berbanding terbalik. Justru ayahnya menginginkan dia agar bisa dekat dengan Yasmin. Satu sisi Alfin sangat bahagia mendengar pengakuan ayahnya tentang Yasmin. Namun di sisi lain, dia sangat gengsi jika harus meng-iyakan semua ucapan yang keluar dari mulut ayahnya itu.

"Sampai kapan kamu mau menghukum abi, Fin?"

"Sampai abi bisa rasakan apa yang pernah Alfin rasakan. Kesepian karena harus yatim piatu sejak kecil. Berjuang sendirian menghadapi hidup dan menerima celaan dan hinaan karena dianggap anak buangan."

"Abi tidak pernah membuangmu dan umimu, Fin. Justru umimu yang minta cerai pada abi. Harus berapa kali abi mengatakan hal ini padamu? Dan, bukankah sepeninggal umimu abi berkali-kali datang untuk menjemputmu tapi kamu menolaknya. Hingga akhirnya keluarga umimu melarang abi menemuimu lagi."

"Omong kosong! Hanya wanita bodohlah yang mau diceraikan suaminya saat dia benar-benar membutuhkan pelukannya. Hanya wanita bodohlah yang mau ditinggalkan suaminya disaat dia sekarat karena penyakit dan membiarkan suaminya nya menikah lagi dengan wanita lain," amarah Alfin meluap hebat. Bahkan keseimbangannya dalam menytir hilang kendali. Ingatannya kembali menyeruak lagi pada masa silam yang kelam.

"Abi tidak pernah melakukan semua yang sudah kamu tuduhkan, Fin. Semoga Allah membuka matamu supaya kamu bisa melihat semua kebenaran yang selama ini tertutup dari hatimu."

Alfin tidak menggubris ucapan ayahnya. Dia terus mengemudikan mobilnya dikecepatan maksimal. Bak pembalap professional dia menyalip semua mobil-mobil didepannya. Beberapa mobil disampingnya membunyikan klakson keras-keras karena hampir saja ia menabrak mobi itu.

Pak manaf sama sekali tidak terlihat takut ataupun marah melihat Alfin yang ugal-ugalan dijalan. Dia hanya diam sembari tangan kirinya yang keriput itu menggenggam seat belt kuat-kuat karena beberapa kali tubuhnya terguncang.

Melihat ayahnya yang tetap tenang, Alfin semakin meradang. Dia semakin mengencangkan mobilnya. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat seseorang perempuan tua berjalan hendak menyebrang jalan. Alfin mengerem mendadak dan membanting setir hingga menabrak sebuah tiang listrik.

Tak lama kemudian orang-orang pun datang mengerumuni mobil yang ditumpangi Alfin dan ayahnya.

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu