PART 5

4.6K 201 0
                                    

***

 "Ente kenapa lagi sih, Fin? Menghilang dari kantor seharian tanpa kabar. Ente sengaja mau buat malu ane?" desak Ziyad yang terlihat sangat kesal. Alfin terdiam menunduk tanpa jawaban.

"Abi?" Ziyad kembali bertanya. Alfin mengangguk pelan seolah membenarkan ucapan ziyad. Dia tetap menunduk tanpa sedikitpun melihat kearah Ziyad.

"Fin, move on dong, Fin, lupain masa lalu ente sama abi ente! Ane aja bisa ngelupain masalah ane sama ibu tiri ane. Kok ente kagak sih?"

"Itu kan ente Zi, bukan ane."

"Terus apa bedanya ane sama ente, Fin? Bukannya ente itu the best one, semua kelebihan ane kelewat sama ente. Paling cuma kegantengan ane aja yang gak bisa ente kalahin," dalam hal seserius ini-pun laki-laki bertubuh jangkung itu msih bisa bercanda supaya Alfin, sahabatnnya yang selalu serius itu bisa tertawa.

Alfin tetap diam memandang kearah jendala. Dia melihat gumpalan awan hitam yang mengepul diantara gedung-gedung pabrik yang berjejer.

"Dia, sama seperti awan-awan itu dimata ane, hitam!"

"Tapi awan itu yang melahirkan hujan, Fin. Hujanlah yang membuat semua makhluk Allah didunia ini bisa hidup. Jangan kualat ente! Walau bagaimanapun itu abi ente. Perusahaan ini dulu pernah besar juga karena ada nama ayah ente didalamnya. Sudahlah, cerita kita sama kok, sama-sama disakiti orang tua, tapi..."

"Tapi ane harus melihat umi ane meninggal di pelukan ane sendiri, tanpa seorang ayah disamping ane? Umi sekarat sementara dia menghilang entah kemana. Ane harus jalani hidup sendiri tanpa ayah, dan sekarang? Setelah semuanya baik-baik saja, dia kembai begitu saja."

"Fin, kalau abi ente emang jahat, kenapa umi ente masih sayang dan selalu bilang kalau abi ente sayang sama kalian berdua?"

"Menyayangi pada kami dengan cara menikah lagi dan meninggalkan kami, Iya? Ente tidak pernah paham sama perasaan ane, Zi."

Ziyad menghela nafas panjang, "Maafin ane, Fin, ane memang belum bisa jadi sohib ente yang baik. Tapi, sayangilah orang tua kita selama orang tua kita ada! Kalau mereka udah gak ada, nyeselnya gak bisa dijelasin sama kata-kata. Ane udah ngalamin sendiri, rasanya pengen banget ketemu mereka. Meskipun hanya satu menit aja. Tapi udah gak mungkin, alam kita udah beda. Ente yang kuat ya, Fin! Ane akan selalu doakan ente, semoga masalah ini cepat kelar!"

Alfin masih saja terdiam di samping jendela kaca, suasana hening. Tiba-tiba Ziyad meraba dua buah buku berwarna pink dan kuning yang tergeletak di meja Alfin.

"Fin, ente sejak kapan suka nulis diary dan suka baca buku dongeng? Warna sampulnya pink sama kuning lagi. Sejak kapan ente norak kayak gini, Fin?"

"Jangan salah paham ente! Ane juga tidak tau itu milik siapa. Tadi sore nemu dimasjid, pas mau ane balikin ke masjid ente nelpon terus, ya udah ane bawa aja. Dari pada kehujanan atau diambil orang kan? Biar besok ane balik lagi ke masjid buat ngembaliin buku itu."

"Hehehe ane pikir otak ente udah konslet, Fin, makanya jadi punya inisiasi ngoleksi buku diary dan buku dongeng warna pastel kayak gini. Tapi kelihatannya pemilik buku ini cewek deh, Fin. Karena kebanyakan, cuma perempuan yang suka nulis diary."

"Sok tau ente, Zi!"

"Ane kan udah nikah, Fin. Jadi sedikit banyak taulah selera perempuan. Emangnya ente dua puluh sembilan tahun menjomblo? Hahaha."

"Biar jomblo gini, banyak yang ngejar kali."

"Yang ngejar ente itu hanya cewek buta, Fin. Apa coba yang diharepin dari seorang Alfin Maulidani Alaydrus? Udah galak, susah senyum, suka nolak perempuan, kegantengannya masih kalah lagi sama ane."

"Sudah muji diri sendirinya? Ane pulang nih."

"Yah, marah die. Siapapun pemilik dua buku itu, Fin. Semoga bisa membantu ente ketemu sama jodoh ente ya. Inget usia, meski wajah ente masih kayak pemuda belasan tahun tapi ente udah mau berkepala tiga Fin, Nikah, Nikah, kiamat hampir dah!"

"Semua orang akan nikah pada waktunya bro, gak usah nyindir terus ente!"

"Ckckck Alfin Maulidani Manaf Alaydrus, cowok yang suka dikejar-kejar cewek tapi masih aja betah nge-jomblo, hahaha. Ya udahlah Fin, ini dah malem, ane pulang dulu ya, bini ane pasti dah nungguin. Ente pulang jangan malem-malem ya, meski gak punya bini yang nungguin! Assalamualaikum.."

Alfin menatap Ziyad kesal sambil mengacungkan sebuah kepalan tangan.

"Waalaikum salam!"

Alfin masih terngiang kata-kata Ziyad tadi tentang orang tuanya yang sudah tiada. Sebenarnya, jauh dilubuk hatinya Alfin masih sangat menyayangi sosok ayah yang kini sedang menunggu dirumahnya. Namun, mata hatinya sudah dibutakan kebencian yang mendalam. Alfin tidak pernah meminta penjelasan pada ayahnya mengapa dulu dia meninggalkanya dan juga ibunya yang sedang sekarat. Karena bertanya sama saja dengan membuka luka lama. Dia tidak mau mengingat-ingat kembali kejadian masa silam yang teramat pahit bagi dirinya itu.

Alfin kembali menatap dua buku yang tergeletak di mejanya. Dia bingung harus kepada siapa mengembalikan dua buku itu, sementara dia tidak mungkin pergi kemasjid Ar-Rahman lagi dalam waktu dekat.

Kemudian, dia teringat pada Hanif, marbot masjid yang tadi sore ia temui.

"Oh, kalo ada gambar mesjidnya itu pasti milik mbak e Yasmin mas, beliau salah satu pengajar dimesjid ini mas."

"Bisa minta tolong sampaikan padanya ya supaya diambil dirumah saya minggu depan! Sepertinya saya tidak bisa ke masjid dalam waktu dekat. Karena saya ada dinas luar kota selama seminggu. Saya khawatir orang itu butuh bukunya, jadi jika diperlukan mendadak bisa langsung kerumah. Untuk alamatnya saya share lock nanti mas."

"Oh, nggeh mas, nanti akan saya sampaikan sama orangnya."

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, Alfin memutuskan untuk pulang meski ia sempat ragu karena dia harus bertemu seseorang yang tidak ingin dia temui lagi di rumahnya.

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt