PART 27

3.9K 199 5
                                    

Tidak seperti biasanya, jalanan sangat sepi. Padahal ini baru jam empat sore. Bus yang biasa kutumpangi setiap hari pun tidak juga datang, pun tak ada bus lain yang bisa kunaiki. Aku duduk cemas dihalte sambil menelpon umi untuk pamit karena akan pulang terlambat, tapi sama sekali tak ada jawaban. Aku memutuskan mengiriminya pesan singkat, setidaknya nanti umi akan membacanya dan tahu bahwa aku akan pulang terlambat.

Matahari mulai menyipit, bias jingga mulai terlihat kemerahan. Burung-burung walet mulai berterbangan seolah girang malam akan segera datang. Aku masih duduk bersendirian. Ingatanku kembali pada kejadian yang baru saja terjadi. Entah mengapa aku sangat menghawatirkan pak Manaf. Aku takut akan terjadi apa-apa dengannya. Melihat tatapan gus Alfin yang sangat tidak bersahabat membuatku takut dia akan melakukan sesuatu pada pak Manaf. Karena dia masih belum bisa melupakan kejadian masa lalunya. Yang sebenarnya semua itu hanyalah sebuah kesalah pahaman belaka.

Tiba-tiba ponselku berdering, sebuah panggilan dari pak Manaf memenuhi layar ponselku. Panjang umur, baru saja aku menghawatirkannya tiba-tiba dia menelponku. Tapi, ada apa? Meski sudah lama memiliki nomor ponselnya, dia sekalipun tidak pernah menghubungiku.

Karena penasaran, aku segera mengangkatnya.

"Halo, Assalamualaikum pak."

"Halo mbak, halo....." suara seorang perempuan memenuhi telingaku.

"Maaf ini siapa?"

"Mbak minta tolong ke rumah sakit As-Syifa sekarang. Yang punya ponsel ini kecelakaan."

"Innalillah, bagaimana keadaan...."

Tuut tuut tuut

Penelpon itu memutuskan panggilan.

Aku benar-benar bingung sekarang, entah harus bagaimana? Aku harus pulang karena ini sudah hampir petang, tapi aku juga tidak mungkin membiarkan pak Manaf dan gus Alfin yang sedang mengalami kecelakaan.

Umi tiba-tiba menelponku. Aku menceritakan semuanya padanya. Kemudian umi menyuruhku untuk segera datang kerumah sakit karena pak Manaf sedang membutuhkan pertolonganku.

Aku memutar arah dan berlari kencang menuju rumah sakit As-Syifa yang jaraknya tidak jauh dari kampus. Tapi, untuk sampai kesana aku tidak bisa hanya mengandalkan kaki. Tiba-tiba bus yang biasa kutumpangi lewat disampingku. Aku berteriak sambil mengejarnya, tapi kekuatanku tetap kalah dengan kecepatan bus itu. Aku tertunduk lesu, rasanya tidak mungkin aku bisa secepatnya sampai jika hanya mengandalkan kaki-kaki kecilku.

Beep beep

Sebuah klakson berbunyi. sepertinya sang kenek bus sempat melihatku tadi. Sehingga sang sopir memundurkan busnya. Karena hampir setiap hari aku menaiki bus ini, sang sopir dan sang kenek pun telah hafal dengan wajahku.

Lima menit kemudian, aku sampai dirumah sakit. Rumah sakit As-Syifa sangat megah dan luas. Aku sempat kebingungan mencari ruangan pak Manaf di rawat. Dengan bantuan perempuan yang menelponku tadi, aku berhasil menemukan ruangan itu. Perempuan itu memberikan ponsel pak Manaf dan kunci mobil gus Alfin padaku.

Aku mencari dokter dan menanyakan kondisi pak Manaf. Rupanya tidak ada yang luka dari tubuh lelaki paruh baya yang malang itu. Dia hanya pingsan karena shock. Namun penyakit yang menggerogoti tubuhnyalah yang membuat ia harus dirawat.

Lelaki paruh baya itu tergeletak tidak sadarkan diri dikasur pasien dengan berbagai macam selang ditubuhnya. Dia telah lama merahasiakan penyakitnya dari keluarganya bahkan kepada gus Alfin sekalipun. Tapi aku tau semua itu dari kejadian di perpustakaan beberapa minggu yang lalu. Aku hanya bisa melihat pak Manaf dari kaca pintu karena tak seorang pun di izinkan memasuki ruangan itu.

Seorang pria dengan luka dibagian pelipisnya mendekati pintu. Dia menangis, meratap, menyesali kecelakaan yang baru saja terjadi.

"Abi, maafkan Alfin, bi! Alfin khilaf, abi!" gus Alfin menangis sambil menyandarkan wajahnya di kaca pintu. Ia terlihat sangat menyesal melihat ayahnya tergeletak kaku dikasur pasien.

"Tenang pak, biarkan ayah anda istirahat!" dokter yang menangani pak Manaf mencoba menenangkan gus Alfin. Gus Alfin masih dengan kemelutnya, bahkan hingga membuat dia tidak menyadari bahwa ada aku disebelahnya.

"Tolong, dok, tolong sembuhkan ayah saya! Saya akan bayar berapapun biayanya asal ayah saya bisa sembuh. Ayah saya tidak terluka, dok. Tapi kenapa dia harus dirawat disana dokter?!!"

"Mari ikut keruangan saya! Akan saya jelaskan penyakit apa yang sedang di idap oleh ayah anda." Mereka berdua berjalaan menuju ruangan dokter itu. Aku mencoba mengikuti mereka dari belakang.

"Sebenarnya penyakit apa yang menggerogoti tubuh ayah saya, dok?

"Sebagai seorang anak, apakah anda tidak pernah diberi tahu oleh ayah anda?" gus Alfin menggeleng sebagai tanda bahwa dia sama sekali tidak tau perihal kondisi ayahnya.

"Cukup serius pak. Penyakit ginjalnya sudah merembet pada gagal ginjal stadium akhir. Pembuluh darahnya mengalami penyempitan karena agen inflamasi yakni sitokin. Jika sudah tidak terkontrol, hal ini bisa mengakibatkan serangan jantung. Yang menyebabkan pasien meninggal secara mendadak. Kami ragu untuk melakukan operasi, pak, karena Penyakit hipertensinya juga cukup tinggi. Beliau kami biarkan untuk istirahat total terlebih dahulu."

"Innalillah, ya Allah. mengapa pihak rumah sakit tidak pernah menceritakan hal itu kepada keluarga pasien, pak?" gus Alfin menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Dia terlihat sangat shock mendengar kenyataan tentang penyakit ayahnya.

"Mohon maaf pak. Pak manaf memang melarang kami menceritakan tentang penyakitnya kepada siapapun, terutama keluarganya. Beliau bilang, tidak ingin menyusahkan siapapun karena penyakit yang dideritanya."

"MasyaAllah, abi. Saya mohon dokter lakukan yang terbaik untuk ayah saya, dok! Apapun caranya, jikapun harus mengambil ginjal saya, saya rela, dokter!"

"Baik pak, akan kami tangani semaksimal mungkin. Tapi kesempatan hidupnya sangat tipis, hanya tersisa lima belas persen lagi. Treatment yang kami berikan sekarang hanya sekedar menghilangkan rasa sakitnya karena alat-alat dirumah sakit kami tidak memadai. Sebaiknya bapak banyak berdo'a dan banyak memberikan motivasi kepada ayah bapak untuk tetap optimis melawan penyakitnya."

Mendengar ucapan dokter itu, gus Alfin seperti kehilangan Arah. Dia terlihat sangat menyesal karena selama ini telah menyia-nyiakan ayahnya. Dia bahkan tidak tau bahwa ayahnya sedang berjuang melawan penyakitnya sendirian. Disaat dia justru sibuk untuk membalas dendam karena amarah yang belum redam.


Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now