PART 14

3.9K 206 1
                                    

Sesuai petunjuk Hanif aku memutuskan pergi ke taman. Sebenarnya aku ingin mengajak Shireen dan Syifa bertemu orang itu, supaya tidak terjadi fitnah. Karena seorang perempuan bertemu dengan seorang pria tak dikenal sendirian itu tidak baik. Tapi mereka berdua sudah pulang selepas mata kuliah tadi. Jadi, aku memutuskan untuk pergi sendiri, toh pertemuannya ditaman. Pikirku, pasti akan banyak orang disana, karena taman bukan tempat sepi jadi fitnahnya juga tidak banyak.

Hari ini benar-benar indah. Cerpenku terbit setelah sekian lama dan sekian kali gagal. Dan diary kesayanganku, yang dalam seminggu terakhir hilang juga akan segera kutemukan. Benar-benar hari keberuntungan. Aku tersenyum disepanjang jalan. Aku sapa semua orang yang aku kenal dengan ramah. Aah, rasanya ringan, bak berjalan dibawah taburan bunga sakura dengan angin sepoi yang mempesona, membuat jilbabku merumbai-rumbai indahnya. Burung-burung seolah memberiku selamat dengan kicauannya yang tak sederhana. Wajah setiap orang yang kujumpai berseri-seri, seolah senada dengan kondisi hatiku yang sedang bahagia.

Aku menghentikan langkahku ditaman. Ku amati setiap sudut taman, namun tak ada siapapun disana. Aku mencari kesana kemari tak kunjung pula kutemui. Hanya sekelompok mahasiswa yang sepertinya sedang berdiskusi di bawah pohon-pohon rindang. Harus ku cari kemana lagi orang itu? Aku juga lupa bertanya pada Hanif perihal nama dan seperti apa ciri-ciri orang yang sudah mengambil bukuku. Ponselku juga sudah diambil pria itu, sekarang aku hanya disisakan I-phone mati miliknya. Bagaimana caranya aku bisa menemukan orang itu, sementara ada ribuan pria di kampus ini?

Ketika sedang asyik mencari, aku melihat punggung seseorang dibalik pot bunga besar yang dialiri air bak sebuah air mancur. Aku jadi ingat kata-kata Hanif tadi.

"Anu mbk, di taman air mancur Universitas Darul Falah."

Taman air mancur yang Hanif maksud itu pasti pot besar ini. Buru-buru aku menghadap orang itu.

"Maaf saya terlambat!" mataku membulat menatap pria yang saat ini ada di depanku. Aku mengalihkan pandangan dan berharap bukan dia pria yang menelpon Hanif tadi.

"Saya kan sudah bilang, kalau ada urusan dengan saya silahkan ke ruang dosen. Jangan temui saya ditempat-tempat umum seperti ini!"

"Mohon untuk tidak merusak mood saya lagi, gus. Hari ini, jenengan sudah membuat draft skripsi saya basah, lalu mengambil ponsel saya, mempermalukan saya dikelas dan setelah itu apalagi?"

"Salah sendiri, berulah!" pria itu memang benar-benar tidak punya perasaan sama sekali. Bahkan dia terlihat tidak seperti sedang bicara dengan seorang wanita. Benar-benar angkuh.

"Kalau saja jenengan tidak matung didepan pintu, ponsel jenengan pasti masih aman."

"Gak usah dibahas, silahkan keruang dosen jika ada kepentingan dengan saya, sepuluh menit lagi saya sudah ada disana!" dia bersedekap dengan mata tersorot tajam kedepan. Dia bersikap seolah aku tidak ada.

"Afwan, yang bilang saya ada kepentingan dengan panjenengan itu siapa, nggeh? Saya kesini mau menemui seseorang didekat air mancur ini, bukannya mau bertemu jenengan."

Tiba-tiba gus Alfin diam, dia terlihat berpikir sejenak. Kemudian dia buru-buru mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

"Apa kamu menunggu orang yang akan mengembalikan buku-buku ini?" aku melihat dua buku ku berada ditangannya.

MasyaAllah, itu diaryku. Hah? Ternyata yang ngambil diary ku adalah gus Alfin?

"Ini buku kamu, kan? Lain kali jaga baik-baik! Diary itu tempatnya di laci meja bukan ditaman masjid. Bahaya kalau sampai diary itu terbaca orang lain karena itu menyangkut privasi kamu. Kecuali kalau memang kamu ingin mengumbarnya pada semua orang," gus Alfin meletakkan diary itu di sisi air mancur. Dia menutup resleting tasnya dan meletakkannya di punggung. Setelah itu, dia berlalu begitu saja. Tanpa salam tanpa kata pamit.

Pria itu, dia memang sama sekali tidak punya perasaan. Berani sekali dia bilang aku ingin mengumbar privasiku padahal jelas aku tidak sengaja menjatuhkan buku-buku itu. Aku menoleh kearah dimana ia berlalu tadi, tapi batang hidungnya sudah tidak terlihat lagi di area taman. Huh, dosen galak.

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now