PART 13

4.7K 226 4
                                    

Malam ini aku menemani umi membuat cupcake. Kue-kue itu akan umi sumbangkan ketetangga sebelah. Dewi, anaknya ibu Rukmana yang suka membantu umi dirumah mau menikah besok. Dia akan menikah dengan kekasihnya yang merupakan salah satu anggota legislatif. Pestanya akan dirayakan besar-besaran katanya. Namun, tersiar kabar bahwa pernikahan mereka terancam gagal karena ternyata Gani, calon suami Dewi berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Tapi pernikahan akan tetap diselenggarakan karena undangan sudah terlanjur tersebar.

"Mereka dijodohin kah, umi?"

"Setahu umi sih mereka memang pacaran, bukan dijodohkan."

"Tapi kok terancam gagal mi, kan sudah pilihan mereka sendiri?"

"Yah begitulah, jika sebuah hubungan dilandaskan pada jalan yang salah secara syari'at islam, maka hasilnya juga tidak akan baik. Ah, andai mereka tau bagaimana baiknya sebuah perjodohan dari orang tua mungkin mereka tidak akan begitu."

Ini yang aku suka dari umi, umi selalu saja memberi motivasi kepadaku perihal perjodohan. Tentang kepatuhan kepada orang tua dan kepercayaan bahwa jodoh itu tidak akan pernah tertukar.

Umi selalu meyakinkanku bahwa jodoh itu tidak akan dekat hanya karena kita mendekatinya. Jodoh juga tidak akan jauh hanya karena jarak kita berjauhan dengannya. Jodoh itu seperti bayangan kita sendiri. Jika ia kita kejar, ia akan semakin menjauh. Maka tidak ada jalan lain untuk bertemu dengannya selain berbalik arah, karena mau tidak mau, ia yang akan mengikuti langkah kita dari belakang.

Seberapapun kita memperjuangkan seseorang, jika Allah tidak menggariskan dia menjadi sosok penyeimbang hidup kita, maka dia tidak akan pernah berada disamping kita. Dan sebaliknya, seberapapun kita dihalang-halangi bersatu dengan seseorang, jika dia memang Allah gariskan sebagai penyempurna agama kita, maka semestapun akan bersaksi bahwa kitalah yang akan memenangkan jiwa dan raganya kelak.

Umi selalu bercerita perihal indahnya perjodohan umi dengan abi dulu. Ketika untuk pertama kalinya mereka dipertemukan, saling mengenal tanpa harus pacaran dan pacaran setelah pernikahan.

Dalam keluarga besarku memang tidak pernah mengenal istilah pacaran, ataupun ta'arufan berkedok pacaran. Mayoritas dari kami memang masih menggunakan sistem perjodohan. Anak-anak dari keluarga besarku memang tergolong pada anak-anak yang patuh pada orang tuanya. Seperti apapun calon suaminya dan dari mana pun dia berasal bukan sebuah masalah untuk keluarga besarku. Tersebab, bagi kami, yang penting orang tua kami ridho pada calon pasangan kami. Meski diawal pernikahan kadang sulit beradaptasi dengan orang yang baru dikenal. Bahkan tak jarang hati kami harus patah terlebih dahulu karena melihat calon kami yang tidak sesuai dengan kriteria. Namun, semua kepatahan kami itu akan sembuh dengan sendirinya karena kepatuhan.

"Yang penting iman dan taqwanya," umi mengusap bahu kananku sembari mengaduk-aduk adonan cupcake yang kami buat hari ini. Dia meyakinkanku setelah aku bercerita perihal Dita. Umi bilang bahwa kebaikan seseorang itu tidak ditentukan oleh kekayaannya, keindahan fisiknya ataupun keturunannya. Melainkan terletak pada iman dan taqwanya.

"Jika iman sudah tertancap didada, cinta akan hadir dengan sendirinya, sayang," umi menambah keyakinanku bahwa perjodohan itu bukanlah suatu hal yang menyeramkan seperti yang dikatakan teman-teman selama ini.

"Umi juga dulu tidak pernah bertemu Abi sebelumnya. Umi manut saja pada Almarhum mbah mu untuk menikah. Awalnya umi juga ragu, tapi karena umi ingat hadits nabi bahwa ridho Allah ada pada ridho kedua orang tua, dan murka Allah juga ada pada keduanya, jadi...."

"Jadi umi nikah karena terpaksa? Terpaksa takut dimurkai Allah?" Aku memotong kalimat umi.

"Awalnya iya, tapi... akhirnya umi ikhlas, bukan karena terpaksa lagi, tapi karena cinta, cinta pada Allah, cinta pada orang tua umi dan cinta pada abi."

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now