PART 24

4K 206 2
                                    

"Menunggu adalah seni-ku membersamai waktu.

Dan hari ini, aku harus menyaksikan seni-ku mati diruang tunggu."

Semenjak mendengar pengakuan Shireen perihal gus Alfin, semangatku menjadi menurun. Tubuhku sudah tidak sedikitpun memiliki gairah, mataku sembab karena air mataku tumpah. Aku berjalan hanya mengandalkan sisa-sisa tenagaku yang masih ada. Jujur, sebagai manusia biasa aku kecewa. Aku sedih dan sakit, kala mendengar sahabat sendiri ternyata akan bersama dengan seseorang yang ku cintai diam-diam. Berpura-pura baik-baik saja didepan banyak orang sementara hati teramat sakit itu sulit, apalagi sumber sakitnya adalah sahabat sendiri.

Beruntunglah untuk sementara waktu aku dan mereka tidak akan bertemu. Kami hanya akan bertemu setelah skripsi kami selesai. Sesuai perjanjian, setiap dari kami tidak boleh saling menghubungi atau menemui sampai sidang skripsi tiba. Aku pasti akan sangat merindukan mereka. Tapi, terus bertemu mereka juga tidak akan menyembuhkan luka. Justru yang ada, luka itu akan tambah parah. Karena setiap hari, aku akan mendengar cerita-cerita Shireen dengan proses ta'arufnya dengan gus Alfin.

Shireen terlihat sangat bahagia. Dia seolah menemukan sosok pangeran yang selama ini dia cari, terlihat dari update tatus-statusnya di media sosial yang kentara. Gus Alfin, dia juga berubah menjadi lebih lunak. Saat bimbingan, dia tidak seangkuh biasanya. Dia kerap kali tersenyum, meski senyumannya masih terlihat kaku. Mungkin itu semua adalah efek karena dia sedang jatuh cinta. Sesekali, dia tersenyum renyah saat melihat ponselnya yang berdering. Mungkin itu pesan dari Shireen. Aku bisa memastikan hal itu dari cerita-cerita shireen tempo lalu.

"Ku mohon jangan tersenyum gus, berat bagiku untuk sekedar mengingatnya!"

Aku senang melihat gus Alfin tersenyum tapi sakit rasanya setelah menyadari bahwa senyuman itu bukan untukku. Aku hanya mampu berdiam. Beringsut keluar ruangan bersama teman-teman setelah bimbingan, meninggalkan dia yang tertawa lepas karena sedang menelpon seseorang. Itu pasti telepon dari Shireen.

Aku seringkali melihatnya. Sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, dua minggu, tiga minggu. Mengapa aku belum ikhlas menerima kenyataan? Hatiku masih berat. Yang paling berat bukan melihat dia tersenyum. Tapi menerima kenyataan bahwa gus Alfin yang ku kira sangat menjaga muru'ahnya mulai tercoreng mahkotanya dengan kehadiran Shireen. Jika benar yang sedang menelpon dia adalah Shireen berarti dia sedang ber-khalwat dengan seorang wanita yang bukan mahramnya.

Tidak, dia bukan imam impianku lagi. Imam impian akan menjaga kehormatannya dengan tidak melangkahi syariat islam. Tapi, semua itu tidak membuatku lantas membecinya. Namanya sudah tergurat sempurna di dinding hatiku. Benar-benar sempurna. Hingga aku lupa, bahwa aku harus melepaskannya.

Tuhan, aku ingin berteriak bahwa aku kecewa, aku sedih, aku marah. Aku tidak rela jika Shireen harus bersama sesesorang yang selama ini selalu ada di sujud terakhirku. Yang namanya selalu menggema di dalam doa-doaku. Yang kataku dia adalah penyeimbang hidupku meski tiap kali betemu dengannya aku harus kembali tertunduk malu, jatuh dan tersungkur berkali-kali. Tapi aku melihat masa depanku tersimpan dibola-bola matanya.

Lalu perihal istikharahku, apakah itu hanya mimpi lelucon? Apakah istikharah hanya perihal omong kosong?

Aah, entahlah....!

Tapi aku tidak mau hanya memenangkan egoku, sementara ada seseorang yang lebih membutuhkan gus Alfin dari pada aku. Shireen baru saja diselingkuhi oleh Raffi, kekasihnya. Hatinya sedang terluka. Kehadiran gus Alfin pasti bisa sedikit membebat lukanya. Lagipula, Shireen adalah wanita yang sangat baik, dia tidak hanya cantik tapi juga memiliki banyak kelebihan.

Sayyidah Fathimah pasti akan lebih bahagia jika melihat gus Alfin menikah dengan seseorang yang memiliki darah dan keturunan yang sama. Akan sangat berdosa jika aku memaksakan kehendak untuk terus bermimpi menjadi istri gus Alfin, sementara kasta masih bersinggasana memisahkan antara. Aku bukan siapa-siapa diantara mereka. Maka biarlah aku melepaskan cinta yang selama ini tumbuh dan berkembang sempurna di dada. Semoga ada pahala diantara sabar dan sakit yang selama ini ku dera.

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now