PART 25

4.2K 218 17
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Kulihat suasana sudah lengang, bahkan hampir tidak ada orang. Hanya tersisa beberapa mahasiswa yang sudah bersiap-siap untuk pulang. Aku menundukkan wajahku. Supaya mereka tidak curiga bahwa aku sedang kalut karena masalah.

"Yasmin, maaf ya, aku pulang duluan! Ibuku mau check up, harus segera ditemeni. Jangan lupa ambil kunci di pak Syamsyul, suruh anak-anak prakerin menutup semua jendela dan pintu! Nanti malam aku ambil kuncinya dirumahmu!" Dita berteriak setengah lantang pada ku dari kejauhan, dia keluar buru-buru menuju pintu.

"Iya, beres. Hati-hati dijalan Dit!" aku melambaikan tangan kearah dita.

Suasana sepi. Terlihat meja yang berantakan, buku-bukupun masih terlihat tertumpuk disana. Sepertinya buku-buku itu sudah leccek ditangan para mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan sedari tadi. Tidak jauh beda dengan suasana hatiku saat ini, berantakan dan leccek. Setelah sempat dikunjungi oleh seseorang diam-diam, kini aku harus berjuang merapikannya sendiri supaya terlihat rapi dan masih bisa dibaca oleh pengunjung berikutnya.

Aku mencintai gus Alfin dalam diam, aku harus mengikhlaskannya juga dalam diam. Biarlah semua terhapus oleh waktu. Jika dia adalah jodohku seberapapun aku jauh darinya, seberapapun langit dan bumi menghalang-halangi kebersamaanku dan dia, kelak aku akan tetap berada disisinya. Pun, jika dia bukanlah jodohku seberapapun aku berusaha mendekatinya. Sebesar apapun perjuanganku membawanya dalam doa-doa kelak aku dannya pasti akan terpisah jua.

Maka biarlah, Allah yang menjadi hakim pada sebuah rasa yang tak sampai pada pemiliknya.

Dengan tatapan lesu, aku merapikan buku itu satu persatu. Membuatnya berjejer sesuai urutan nomor dan klasifikasinya. Seperti biasa kurapikan buku-buku pak Manaf yang masih dengan posisi terbuka. Lelaki itu, apa dia sengaja menungguku untuk menutupnya?

Entah mengapa aku jadi merindukan pak Manaf. Aku rindu senyum teduhnya yang membuatku ingat pada sosok abi dalam cerita umi. Andai saja dia ada, mungkin aku bisa menceritakan semua padanya. Tentang keruhnya hati karena masalah yang sedang menderaku.

"Ekhem, tumben sendirian, nak Yasmin?" pak Manaf tiba-tiba muncul di belakangku. Dia datang dengan senyum khas-nya disaat aku sedang mengingatnya.

"Oh, nggeh, pak, teman saya tadi pulang duluan," aku menjawab singkat pertanyaan pak Manaf lalu kembali pura-pura sibuk dengan buku yang sedang ku tata. Melihat senyuman diwajah pak Manaf tadi membuat suasana menjadi teduh. Ingin sekali aku bercerita perihal masalahku yang menyesakkan dada. Tapi aku malu. Bercerita pada dia sama saja dengan membaluri kotoran ke wajahku sendiri.

"Masalah itu jangan dipendam sendiri, karena ia akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapanpun!" kata pak Manaf sembari duduk ditempat biasa. Dia seperti sudah membaca pikiranku sejak tadi, sepertinya dia tau bahwa aku sedang dalam masalah.

"Saya baik-baik saja kok pak, hanya kecapean karena skripsi," aku mulai beralibi.

"Tidak usah ragu, kalau nak Yasmin punya masalah, cerita saja! InsyaAllah saya bantu."

"Biasa pak, masalah hidup."

"Yasmin itu orang baik. InsyaAllah orang-orang baik akan senantiasa mendapat kebaikan dari Allah," pak Manaf membantuku menderetkan buku-buku kedalam lemari.

"Andaikan pangeran saya tidak dijodohkan sejak kecil dengan anak sahabat saya, saya ingin sekali Yasmin yang menjadi menantu saya."

"Hm?" aku terhenyak mendengarnya.

"Dia anak sahabat saya, dulu saya berhutang nyawa pada sahabat saya itu. Karenanya, sebelum sahabat saya itu meninggal, saya berjanji untuk menyatukan anak-anak kami jika anak dia perempuan nantinya. Dan tenyata benar, anak sahabat saya itu perempuan."

"Saya hanya orang biasa pak, bukan dari golongan orang-orang sukses seperti keluarga bapak. Jadi, sepertinya kurang tepat jika bapak ingin mengangkat saya sebagai menantu," aku mencoba berpura-pura tersenyum didepan pak Manaf.

Aku sedikit kecewa mendengar kata-kata pak manaf tadi, bahwa putranya telah ia jodohkan dengan putri sahabatnya. Sementara aku pernah bermimpi untuk masuk kedalam kehidupan pak Manaf dengan cara menikah dengan putranya. Lagi-lagi, aku kecewa. Dan memang akan terus seperti inilah hukuman bagi manusia yang berharap pada selain-Nya. Segalanya hanya akan berakhir dengan luka yang menganga.

"Yasmin, kemuliaan seseorang itu ada pada ketakwaanya, bukan pada pangkat dan keturunanya. Bapak melihat kamu dari hatimu yang tulus. Kamu gadis yang sangat baik dan sholihah. Bapak akan selalu doakan, semoga kamu segera mendapatkan jodoh yang baik sesuai dengan impianmu."

"Aaminn. Tapi, taukah bapak, bahwa saya baru saja kehilangan sosok imam impian saya. Sosok yang diam-diam saya simpan rapi, dalam-dalam. Sosok yang kerap kali saya diskusikan dengan Tuhan. Sekarang harus saya ikhlaskan pelan-pelan. Bukan salah Tuhan yang telah menyemai sebuah pertemuan, bukan pula salah sahabat lama yang menggores sebuah kesakitan. Tapi salah saya sendiri telah bermain api, membiarkan diri lena pada perasaan, hingga lupa pada pemilik cinta sejati."

Suasana hening. Aku senyap dalam lamunanku. Sementara pak Manaf sibuk menderetkan buku-buku.

Samar-samar, terdengar suara langkah kaki menuju ruangan tempat aku dan pak manaf berada. Suara langkah kaki itu terhenti didepan pintu.

"Sudah sore, waktunya pulang!" seorang pria berdiri melihat kearah kami, dia menyuruh pak Manaf untuk segera pulang.

"Ssst.. pangeran saya sudah datang, biar ceritanya lanjut kapan-kapan, ya!" pak Manaf berbicara setengah berbisik kepadaku. Aku menoleh kearah pak Manaf dan menoleh ke arah pria itu.

"Gus Alfin? Pangeran?!!!!" Sekilat cahaya aku menatap pria itu kembali.

Jadi, gus Alfin adalah pangeran pak manaf yang selama ini dia ceritakan padaku? Itu artinya ,dua lelaki itu memiliki ikatan?

Ya Allah, kenyataan pahit apa lagi yang harus hamba terima? Kenapa ya Allah, kenapa harus Dia? Dari sekian manusia didunia ini mengapa harus pak Manaf yang menjadi ayah dari gus Alfin?

Betapa beruntungnya Shireen, dia akan memiliki sosok suami sekaligus ayah impian seperti gus Alfin dan pak Manaf. Memang sangat indah cara Allah menyempurnakan kehidupan seseorang. Shireen adalah gadis yang hampir sempurna, kecantikan yang dimilikinya membuat dia layak memiliki segalanya. Tidak seperti aku, yang hanya gadis biasa, penuh dengan dosa-dosa, dan tidak memiliki modal apapun untuk sekedar masuk kedalam kehidupan orang-orang hebat seperti mereka.

Aku khawatir pada pak Manaf, anak lelakinya yang dia sebut-sebut sebagai pangeran itu mengajaknya pulang dengan cara yang tidak sepantasnya. Dia hanya menyindir sang ayah agar tidak berlama-lama didalam perpustakaan.

Ekspresi wajah gus Alfin terlihat tidak bersahabat. Dia menatap tajam kearahku, memaksaku untuk menundukkan pandangan. Lantas dia pergi meninggalkan kami begitu saja, sepertinya dia tidak menyukai kehadiranku.

Gus Alfin dan pak Manaf pergi meninggalkanku seorang diri. Aku menatap dua lelaki itu dari belakang. Dua sosok yang beberapa bulan ini banyak memberikan energi padaku itu sebentar lagi akan hilang.

Apapun itu, aku harus ikhlas. Allah tidak akan pernah salah menempatkan posisi hambanya sesuai dengan kualitas dirinya. Mungkin aku memanglah tidak pantas berada diantara mereka, tersebab kualitasku yang masih rendah dan jauh dari kata sempurna.

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now