PART 28

4.4K 234 29
                                    


Alfin keluar meninggalkan ruangan dokter. Dia berjalan gontai seolah tidak memiliki kekuatan apapun. Buliran bening yang sedari tadi menetes belum juga surut dari kedua bola matanya. Jantungnya sesak, benaknya kembali meyeruak pada masa-masa sulitnya. Dia mengutuk dirinya sendiri karena harus menanggung beban hidup seberat ini. Dia mengingat semua kejadian dirumahnya, saat dia sama sekali tidak pernah menganggap ayahnya ada. Dia hanya memberikan apa yang ayahnya butuhkan. Melakukan apa yang di perintahkan tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Tidak ada sapa, tidak ada tatap mata.

Lelaki paruh baya itu memang berhati bersih, dia tidak pernah mendendam. Dia tetap tinggal membersamai anaknya yang bahkan tidak sudi menatap wajahnya.

Seorang gadis berdiri tepat didepan Alfin. Wajahnya tertunduk menatap lantai, namun matanya tersorot tajam, seolah mengharuskan Alfin menghentikan langkahnya.

"Gagal ginjal stadium akhir, dan kemungkinan hidupnya menipis?"

Alfin memalingkan wajahnya, dia diam tanpa suara. Bibirnya getir dan tubuhnya gemetar mendengar ucapan seorang gadis yang tak lain adalah Yasmin.

"Lihatlah gus, lihatlah lelaki yang sedang tergeletak lemah disana! Jenengan pernah bilang supaya saya tidak melanjutkan S2 agar bisa berbakti kepada orang tua. Tapi kenapa, kenapa justru gus Alfin sendiri yang dengan tega menyia-nyiakan ayahnya yang sudah menanjak senja, meringkih sendirian melawan penyakitnya? Gus Alfin tidak pernah tau betapa beratnya hidup tanpa seorang ayah. Sejak lahir Allah tidak sedetikpun memberikan kesempatan pada saya untuk melihat abi. Bahkan dalam mimpi sekalipun, Allah tidak memberikan kesempatan itu. Allah sudah memberikan kesempatan yang banyak kepada gus Alfin untuk bertemu dan berbakti kepadanya. Tapi justru......." Kalimat Yasmin terhenti karena tangisanya pecah. Alfin menelungkupkan wajahnya di dinding. Sambil terus saja terisak karena dadanya sangat sesak.

"Taukah, gus? Pak Manaf tidak pernah menikah lagi seumur hidupnya karena dia masih mencintai istri dan anaknnya. Kata cerai juga tidak pernah keluar dari lidahnya. Perusahaan, lembaga pendidikan. Siapa? Siapa yang memberinya? Dia yang sekarang terbaring disana yang sudah berjuang membangunnya. Lewat sahabat isterinya dia mampu meyakinkan anaknya bahwa perusahan itu adalah milik isterinya yang akan jatuh ketangan anaknya. Karena dia tahu, anaknya tidak akan pernah sudi menerimanya, jika dia tau bahwa perusahaan itu adalah milik ayahnya."

Mendengar perkataan Yasmin, Alfin terhenyak. Dia membalikkan tubuhnya. Netranya nanar menatap gadis yang masih asyik dalam tundukannya itu.

"Apa? Apa kamu bilang? Perusahaan itu milik abi?"

"Ya, perusahaan itu milik pak Manaf, dan saudara-saudara isteri pak manaf tau akan hal itu. Tapi mereka menyembunyikan semuanya karena mereka sudah terlanjur membenci pak Manaf. Mereka benci, lantaran saudarinya meninggal dan pak Manaf justru tidak berada disampingnya. Isteri pak manaf adalah wanita yang luar biasa hebat, itu yang selalu dia ceritakan pada saya. Bahkan keputusan untuk bercerai dari suaminya-pun lantaran dia tidak ingin menyusahkan suaminya di akhir hidupnya. Pak manaf menolaknya, namun akhirnya dia menyerah. Dia ingin mengabulkan permintaan terakhir isterinya, setidaknya sebelum kematian menjemputnya."

Alfin menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia seolah tak percaya pada apa yang baru saja Yasmin katakan. Ia nampak melepaskan beban berat yang selama ini ia tanggung sendiri. Dia seperti menemukan jawaban dari milyaran pertanyaan yang selama ini ia simpan sendiri. Tanpa pernah berusaha untuk sekedar menemukan jawabannya.

"Dengan kondisinya yang tidak stabil, dia masih setia setiap hari menunggu gus Alfin berjam-jam di perpustakaan, agar kalian bisa saling bicara. Tapi sepertinya ego gus Alfin sudah bersinggasana diatas segalanya. Selama ini, saya kira putra pak Manaf adalah pria serampangan, pria ugal-ugalan yang tidak bisa menghormati ayahnya. Tapi saya salah, putra seorang Abdi Manaf Hidayatullah Alaydrus rupanya adalah guru saya sendiri. Seorang pemuda lulusan Kairo, seorang hafidz Qur'an, tapi dia tidak bisa menghormati ayahnya. Kenapa gus? Kenapa hati gus Alfin sama seperti batu yang tidak pernah bisa melihat kasih sayang ayah kandungnya sendiri?"

"Cukup Yasmin, cukup!! Saya sadar, saya salah. Saya tau saya bodoh. Mengapa selama ini saya tidak mencoba mecari kebenaran ini? Saya justru sibuk menumpuk dendam dan amarah pada lelaki yang sudah berjuang dan banyak berkorban untuk saya!" Alfin menempelkan punggungnya kearah dinding, tubuhnya merosot jatuh kelantai. Dia terlihat sangat menyesal dengan perbuatannnya.

"Katakan pada saya Yasmin, apa yang harus saya lakukan pada dia, sekarang?!"

"Berbakti, ikuti semua perintahnya! Karena hal itu adalah mimpi pak Manaf kepada putranya. Dia bahkan sepanjang hari membaca kitab karangan imam Al-Ghazali tentang adab anak dan orang tuanya. Dan saya baru mengerti sekarang, apa alasan dia selalu tersenyum kala membaca kitab itu."

"Apa?"

"Karena dengan membaca kitab itu. Dia mampu bernostalgia dengan anak lelakinya dimasa lalu. Anak lelaki yang selalu dipujanya. Bahkan hingga detik inipun dia masih memanggilnya pangeran. Pengeran Alfin Maulidani Manaf Alaydrus," Yasmin menatap lekat-lekat tubuh Alfin yang sedang meringkuk dilantai.

Alfin menarik nafas dalam-dalam, "Baiklah, saya berjanji akan menebus semua dosa-dosa saya pada abi. Saya akan memperbaiki semuanya. Saya janji akan menuruti semua perintahnya dan membuat dia bahagia sebagaimana dia berjuang membahagiakan saya," Alfin mengusap wajahnya, lantas ia berdiri. Dengan wajah penuh keyakinan bahwa ia masih bisa memperbaiki semuanya.

Suasana hening, tiba-tiba sebuah panggilan dari salah seorang suster memecah keheningan.

"Mana keluarga pasien?"

"Saya, sus," gus Alfin segera mendekati suster itu.

"Pasien sedang menunggu didalam, dia ingin bicara dengan putranya, apa anda putranya?"

"Iya, sus, saya putranya."

"Baik, ikut saya kedalam!" Alfin mengikuti suster itu dari belakang. Dia memandang kearah Yasmin sejenak. Gadis itu mengangguk sembari menyembunyikan wajahnya dalam tundukan.

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now