PART 15

4.4K 203 4
                                    

"Karena peduli tidak harus saling menyapa.

Dan mengamati, tidak harus saling bertatap mata

Hening dimata, riuh dalam doa-doa.

"Sudah tiga hari aku hidup tanpa ponsel. Aku bahkan tidak memperbaiki ponsel milik gus Alfin. Keuanganku merosot karena terlalu banyak pengeluaran selama beberapa bulan terakhir. Biaya praktek kerja lapangan, kuliah pengabdian masyarakat, uang praktikum dan pengeluaran sehari-hari membuatku sedikit bangkrut. Aku malu untuk sekedar minta pada umi karena umi juga tidak memiliki penghasilan. Semua kebutuhan hidup kami ditanggung paman Idris, adik satu-satunya abi. Sedangkan paman Idris masih begitu sibuk dengan pesantren peninggalan mbah di Madura. Beliau butuh dana banyak untuk pembangunan karena semakin hari jumlah santri semakin bertambah.

Sebenarnya, aku masih memiliki sisa tabungan beasiswaku di ATM, tapi aku ingin menggunakannya untuk persiapan wisuda dan S2 nanti. Lagi pula, sebenarnya aku takut mebawa ponsel itu ke tukang service, karena harga ponsel itu pasti sangat mahal. Memperbaikinya pun pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tapi, membiarkan ponsel itu mati dalam kurun waktu yang cukup lama, juga bahaya. Jika ternyata mati total dan aku tidak bisa menggantinya, bagaimana?

Akhirnya aku memutuskan untuk mendatangi salah satu tempat service ponsel tak jauh dari kampus.

"Gak ada yang rusak kok mbak ponselnya. Ponsel mahal seperti ini susah rusaknya mbak, bahkan meski jatuh berkali-kali insyaAllah awet gak usah khawatir," pemuda bertubuh cungkring yang biasa menjaga tempat service itu mengembalikan ponsel gus Alfin pada ku.

"Mas yakin? Terus kenapa ponsel itu mati mas?"

"Ya, wajarlah mbak kalau mati, baterainya habis, hahaha," tukang service itu tertawa melihatku yang terlihat kebingungan.

Apa!?? jadi pria itu sudah menipuku? Dia bilang ponselnya mati karena aku tabrak. Padahal ponsel itu mati karena dia belum isi baterai. Pantas saja dia mematung didepan pintu perpustakaan, mungkin karena dia panik batre Ponsel nya mati.

"Huh, dasar, dosen seribu ekspektasi sudah galak tukang tipu lagi!" gerutuku dalam hati.

Aku memutuskan untuk kembali ke kampus setelah membeli sebuah charger yang harganya cukup mahal. Kalau saja bukan karena dosen itu, aku tidak perlu repot-repot membeli charger semahal ini. Tapi, aku cukup lega, karena biaya yang dikeluarkan tidak sefantastis dugaanku. Tidak mengapalah, yang penting aku selamat dari pertanggung jawaban mengganti ponsel yang harganya lima kali lipat dari jumlah uang beasiswaku.

"Putri Yasmin!!" teriak Shireen dari kejauhan.

"Duh, teman kita yang satu ini mulai sombong ya sekarang, chat-chat di WA gak dibales ditelepon juga gak bisa," Syifa berkacak pinggang.

"Gak gitu temen-temen, tapi ponsel ku memang mati."

"Terus ini ponsel siapa?" Shireen bertanya keheranan.

"OMG Yasmin, kamu dapat dari mana banyak uang kok bisa beli ponsel semahal ini?!" Syifa merampas ponsel yang sedang aku genggam. Aku segera merampas kembali dari tangan Syifa.

"Nyuri!" jawabku dengan wajah sebal.

"Yah, marah dia."

"Serius, dari mana?"

"Em, jadi begini. Kemarin ponsel ku jatuh karena ditabrak orang jadi sekarang masih diperbaiki. Makanya aku dikasih ganti ini untuk sementara waktu," jawabku ragu-ragu. Ya Allah, aku terpaksa berbohong. Jika tidak, mereka tidak akan berhenti bertanya.

Gus Alfin, Pejuang Cinta Halal Di Ujung Hilal (TERBIT)Where stories live. Discover now