Sebening berlian

22.2K 2.8K 31
                                    

Assalamualaikum teman-teman, Adiba update lagi. Jangan lupa ramaikan setiap babnya ya. 

Selamat membaca

***

Abrisam mengerutkan keningnya ketika cahaya lampu menembus retina matanya. Ah! siapa yang menghidupkan lampu kamarnya? Abrisam berusaha mengumpulkan semua kesadarannya, kepalanya masih terasa nyeri karena efek dari alkohol yang dia minum di rumah Febri kemarin malam. Abrisam ingin marah kepada orang yang sudah mengusik tidurnya, namun niatnya tadi diurungkannya setelah mendengar suara orang yang menghidupkan lampu.

"Abrisam, kamu nggak sholat lagi?" Melia sudah berdiri di dekat kasir putranya.

Abrisam memijit batang hidungnya. "Ketiduran bun," jawab Abrisam sembari duduk.

Melia menghela napas melihat putranya yang sudah lalai dengan ibadah, sampai kapan anaknya seperti ini? Selalu saja Menghilangkan kewajibannya, kadang dia sangat rindu akan putra kecilnya dulu, yang selalu bangun pagi membangunkan dirinya sholat subuh dan mengaji bareng. Tapi entah apa yang membuat anaknya ini tiba-tiba berubah begitu drastisnya.

"Sayang Sholat itu, wa..." Belum lagi Melia selesai bicara, Abrisam sudah memotongnya.

"Abrisam mau mandi bun." Abrisam mengibas selimutnya dan berdiri.

Melia tidak pernah bisa marah kepada putranya, karena dia tahu Abrisam putranya masih punya sisi lembut. "Setelah mandi turun ke bawah ya, bunda udah siapkan makanan untuk kamu dan ayah."

"Udah pulang dia?" Pertanyaaan yang menohok itu, membuat Melia sangat sedih. Bagaimana tidak? kata dia? itu bukan kata yang dilontarkan seorang  kepada ayahnya.

"Dia itu ayah kamu  Abrisam!"

"Ayah Abrisam udah nggak ada lagi Bun," ucap Abrisam melewati Melia yang terdiam.

Setetes cairan bening keluar dari mata Melia. Hati Melia rasanya hancur melihat keluarganya seperti ini, ada apa sebenarnya dengan keluarganya. Sehingga anak dan suaminya seperti orang lain dirumah ini. "Kamu kenapa sih Nak?" gumam Melia.

Abrisam menutup pintu kamar mandimnya dan bersender di pintu. "Maafin Abirsam bun."

***

Dengan tentengan tas dengan gaya absurdnya, Abrisam berjalan melewati meja makan yang disana sudah terlihat kedua orang tuanya. Tanpa berniat ikut serta dengan kedua orang tuanya, Abrisam tetap berjalan lurus tanpa melirik sama sekali.

"Abrisam," panggil Arif.

Langkah Abrisam sempat terhenti mendengar suara siapa yang memanggil namanya, kemudian dia melanjutkannya kembali.

"ABRISAM REYNAND! SAYA MEMANGGIL ANDA!" panggil Arif dengan nada yang tinggi. Melia yang menyadari suaminya yang marah langsung menenangkannya.

"Mas, sabar," ujar Melia.

"Anak ini udah sangat kurang aja Bun," ucap Arif mengebu-gebut.

Abrisam berbalik badan." Ada apa?" tanya Abrisam dengan wajah santainya.

"Apa kamu tidak mendengarkan panggilan ayah?" 

Ambrisam hanya mengangkat kedua bahunya.

"Dasar anak kurang ajar! Apa kamu tidak diajarkan bagaimana menghormati orang tua di sekolah ha?!" bentak Arif.

"Entahlah, saya bahkan lupa kapan rasa saling menghormati itu ada dirumah ini."

"Abrisam jangan buat ayah kamu semakin marah lagi." Mata Melia sudah berkaca-kaca.

Melihat bagaimana mata bundanya sudah mulai berkaca-kaca, Abrisam mengepalkan tangannya kuat. Sungguh, tidak ada niat sedikitpun dirinya membuat bundanya bersedih. Alasan ia bersikap seperti ini, juga ada alasannya. Alasan dirinya tidak bisa memaafkan perbuatan ayahnya.

AdibaWhere stories live. Discover now