Tawakal

21.1K 3.1K 74
                                    

Assalamualaikum teman-teman, Adiba kembali update ya. Jangan lupa ramaikan setiap partnya...

Selamat membaca..

***

Setelah libur selama dua hari sejak wafatnya almarhum Mbah Lanang, hari ini Adiba kembali bersekolah. Sebenarnya Adiba ingin sehari lagi untuk mengambil absen supaya bisa menjaga Mbah Putri, terlebih lagi sekarang Mbah Putri tidak mempunyai kursi roda lagi. Tapi karena permintaan dari mbahnya, Adiba tidak bisa menolak untuk pergi ke sekolah. Tapi walau bagaimanapun, Adiba tidak akan membiarkan Mbah Putri di rumah sendirian.  Sebelum sekolah, Adiba sudah menitipkan Mbah Putri ke Bibi Nur.

Sebelum Adiba sampai di sekolah, Adiba dahulu singgah disebuah mesin ATM yang tidak jauh dari the greatest school. Sejenak Adiba menghela napasnya melihat saldo ATMnya dari tabungan yang selama ini ia kumpulkan dari setiap olimpiade yang ia menangkan dan kerja paruh waktu yang kadang ia lakukan sekarang hanya tinggal  lima juta. Kalau seperti ini, bagaimana bisa ia melanjutkan impiannya untuk berkuliah dengan jurusan kedokteran yang pasti memerlukan banyak biaya. Belum lagi untuk membelikan kursi roda untuk Mbah Putri yang pasti memerlukan banyak biaya juga.

"Astaghfirullah Adiba, nggak boleh ngeluh. Selama ada Allah, kamu akan baik-baik saja." Adiba berbicara kepada dirinya sendiri.

Di perjalan setelah Adiba keluar dari ATM, Adiba kembali bertemu dengan gadis kecil yang kemarin dia temui. "Fatimah?" Adiba mendekati Fatimah.

"Kak Adibah?"

" Kamu kenapa bisa sampai di sini?" Adiba terkejut saja, Fatimah bisa sampai di sini.

"Maaf ya kak, diam-diam kemarin tu aku ikutin kakak ke sini. Tapi beberapa hari kemarin Fatimah nggak lihat kakak sama sekali."

Adiba tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Maaf ya Fatimah, kakak nggak bisa lama-lama nemanin kamu, kakak harus masuk."

"Nggak apa-apa kok kak, yang penting Fatimah udah bisa ketemu lagi sama kakak."

"Fatimah bisa pulang sendiri?"

"Bisa kak." Fatimah mengangguk cepat.

"Tapi tunggu kakak ada sesuatu buat Fatimah." Adiba mengeluarkan kotak bekal lagi dari tasnya. "Ini buat kamu."

"Tapi kakak gimana?"

"Jangan pikirin kakak, kalau Fatimah nggak mau nerima nanti kakak jadinya sedih."

"Kakak nggak boleh sedih. Oke Fatimah mau." Fatimah menerima kotak bekal itu.

"Yaudah, sekarang Fatimah pulang ya, hati-hati di jalan."

"Iya kak, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Tanpa Adiba ketahui saat dirinya sedang berinteraksi dengan Fatimah ada orang yang memperhatikan memuji kebaikan hati gadis itu.

"Bang, kamu kenal dengan gadis itu?" tanya wanita setengah baya berjilbab panjang bewarna Navi.

"Namanya Adiba bun." Abrisam menjawab pertanyaan dari bundanya.

"Orangnya baik ya bang, kalau gadis seperti itu yang nantinya jadi calon istri abang. Bunda sungguh jadi mertua yang paling beruntung di dunia dan di akhirat deh bang."

Sungguh Nizam tidak menyangka bundanya akan sampai membicarakan hal yang seperti itu. Ya walaupun di dalam hatinya ia tidak mengelak kalau mengharapkan Adiba yang menjadi istrinya nanti. Tapi takdir jodoh, rejeki dan kematian sudah diatur oleh Allah, dia juga tidak boleh berharap dulu.

***

"Adiba, kami turut berdukacita ya."Sebagian teman-teman sekelasnya menghampiri Adiba mengatakan bela sungkawa atas musibah yang menimpa Adiba.

AdibaWhere stories live. Discover now