07 || Tentang Keluarga Mahatma

451 65 3
                                    

Bus berwarna biru itu berhenti di terminal. Banyak penumpang yang keluar dan digantikan dengan penumpang baru. Salah satu penumpang yang turun adalah seorang cowok berseragam putih abu-abu. Tas masih tercangklong di bahunya.

Danil, cowok itu menyusuri trotoar. Sepulang sekolah saat berniat menemani Radea pulang, ponsel cowok itu berbunyi. Yang menelepon adalah ayahnya. Itu panggilan telepon pertama kali setelah sebulan lebih Danil pindah ke SMA Bakti.

Angga Putra Mahatma adalah ayah Danil. Beliau meminta Danil untuk pulang sebentar yang langsung disetujui oleh putranya. Danil sempat menatap bersalah pada Radea, karena sebelumnya dia sudah menawarkan diri menemani Radea pulang. Namun dengan mulut terkatup rapat gadis itu menggeleng, mengisyaratkan bahwa dia tak apa-apa pulang sendiri. Toh, biasanya juga selalu seperti itu.

Dan di sinilah Danil sekarang. Di depan pagar rumah bercat putih yang mewah. Halamannya luas dan hijau. Baru sebulan, tapi rasanya Danil sudah lama sekali tidak pulang.

Senyum cowok itu tiba-tiba mengembang saat seseorang dari dalam mendekat.

"Ya ampun, Mas Danil," histeris pria dengan rambut yang setengahnya sudah putih itu. "Kok nggak mencet bel, Mas? Sudah lama?" Ada ekspresi rindu dari mata pria itu dan berhasil membuat Danil tersenyum.

Ah, ada kerinduan juga di dada Danil. Pria itu adalah Mang Idin yang sudah bekerja sejak dirinya masih kecil di rumah keluarga Mahatma. Begitu pula dengan istri Mang Idin, Bi Tuti. Mereka sudah seperti keluarga bagi Danil.

Buru-buru Mang Idin membuka pagar untuk Danil. "Gimana, Mas, di sana? Makannya teratur? Kamarnya bersih? Nggak horor, kan?"

Danil berjalan menuju rumah sembari menatap Mang Idin di sampingnya. "Sedikit horor," balas Danil, hanya menjawab pertanyaan terakhir Mang Idin. "Papa di dalam, Mang?"

"Iya, Mas. Sama ibu juga di ruang keluarga."

"Ya sudah, Mang. Aku ke sana dulu. Buru-buru."

Mang Idin mengangguk. Danil kemudian berlari kecil masuk rumah. Suasana rumahnya masih sama, dingin. Langkah cowok itu langsung tertuju pada ruang keluarga, ia bisa melihat mama dan papanya duduk di sofa.

Di sana, ada seorang wanita yang menatap suaminya dengan penuh harap.

Airin—mama Danil—yang melihat kedatangan putranya langsung berdiri. Ia merentangkan kedua tangan menyambut Danil. Dipeluknya Danil erat, melepas kerinduan dengan anak semata wayangnya itu. Namun berbeda dengan sang anak, cowok itu tak membalas pelukan mamanya. Tidak, sampai mamanya berubah.

"Duduk," perintah Airin setelah melepas pelukan mereka.

Danil menurut, ia duduk berhadapan dengan papanya yang menatap datar.

"Mama sama Papa apa kabar?" Pertanyaan itu yang pertama terlontar dari bibirnya. Walaupun dia tahu, hubungan rumah tangga orangtuanya tak baik-baik saja.

"Mama sama Papa baik," jawab Airin lembut. Dia duduk di samping suaminya, Angga. "Papa mau kasih tau kamu sesuatu." Wajah wanita paruh baya itu terlihat senang.

Dahi Danil berkerut. Dia menatap papanya menunggu informasi apa sebenarnya yang hendak Angga katakan.

"Motor kamu, bisa kamu ambil." Ekspresi Angga masih datar, tapi tidak ada kekesalan di wajahnya. Mungkin bingung harus bereksi seperti apa terhadap putranya yang telah ia marahi habis-habisan hampir dua bulan yang lalu itu. Bukan hanya amarah yang keluar, bahkan pukulan juga dirasakan Danil.

Introvert VS Ekstrovert ✔️Where stories live. Discover now