14 || Radea Tribuana

391 61 5
                                    

Danil duduk di samping kasur UKS. Di sana seorang gadis berbaring lemah dan masih belum sadarkan diri. Seorang perawat UKS mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan akan segera sadar. Namun sudah dua puluh menit, gadis itu belum sadar juga.

Danil mengingat kembali kejadian tadi, di mana Radea sangat ketakutan. Entah karena dikelilingi banyak orang atau karena perkelahian di depannya. Bisa jadi dua-duanya. Danil mengacak rambutnya kasar, sosok Radea terlalu rumit untuk dipahami. Sekarang, gadis itu masih terpejam dengan rambut berantakan. Danil memperbaiki letak rambut Radea yang berada di pipinya. Namun tiba-tiba ada pergerakan dari gadis itu.

Kepala Radea bergerak kanan kiri, gadis itu melenguh tak teratur. Perlahan keringat membasahi dahinya.

"Ra," panggil Danil sembari menggerak-gerakkan lengan gadis itu. "Radea."

"Huh!" Radea membuka mata, napasnya tersengal seperti orang habis berlari karena dikejar.

"Ra, lo nggak pa-pa?" Danil buru-buru mengambil air minum di nakas yang sudah dia siapkan sebelumnya. Dia membantu Radea untuk duduk. Diberikannya gelas itu pada Radea, tetapi saat ingin menyambut, tangan Radea gemetar.

"Gue bantu," ucap Danil dan membantu Radea minum. Dia memegangkan gelas untuk Radea.

Setelah selesai minum, Danil kembali meletakkan gelas di nakas, kemudian duduk di tempatnya semula. Wajah gadis itu berkeringat, Danil mengambilkan beberapa tisu untuknya.

"Lap muka lo," perintah Danil sembari memberikan tisu, tetapi lagi-lagi Radea menyambutnya dengan tangan gemetar. "Biar gue aja."

Danil berdiri dan hendak mengelap dahi gadis itu, tetapi ditahan. "Sa-saya bisa sendiri," kata Radea serak. Suaranya gemetar, sepertinya dia masih merasa takut.

Danil membuang napas berat, dan membiarkan Radea mengelap sendiri dahinya walaupun masih dengan tangan gemetar. Sebenarnya Danil ingin bertanya ada apa, tetapi dia sadar waktunya belum tepat.

"Ra, tenangin diri lo dulu."

Radea tak menjawab. Dia terlihat kesusahan menghirup oksigen. Gadis itu menunduk dan mencoba bernapas teratur.

🌇🌇🌇

Saat membuka mata, pertama yang Radea lihat adalah sosok itu, seorang cowok yang akhir-akhir ini sering mengganggunya. Ada perasaan takut saat sadar bahwa dirinya tidak sedang sendiri, masih merasa khawatir untuk berinteraksi. Apalagi keadaannya sekarang sangat tidak stabil. Namun kali ini adalah Danil, yang sudah hampir dua bulan terakhir jadi satu-satunya teman mengobrolnya di sekolah.

Radea sudah berusaha membuka diri, menanamkan pada dirinya bahwa Danil orang baik. Namun tidak, di dalam dirinya mendepak asumsi itu dan terus mengingatkan akan hal yang mungkin terulang kembali jika membuka diri. Siapa saja bisa menyakiti, termasuk laki-laki yang sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya sekarang ini.

Gadis itu semakin menunduk. Dia juga tersiksa dengan sikap introver yang dialaminya. Atau bukan, dia bukan intover, tetapi lebih seperti antisosial yang selalu saja berpikir negatif pada sekitar. Pikiran itu sudah berakar di kepala Radea, sudah terlambat untuk membunuhnya. Radea sudah tidak punya cara untuk menjadi normal.

"Ra," panggil cowok itu. "Udah baikan?"

Radea mengangguk.

"Lo kenapa?"

Radea semakin menunduk dalam. Sudah lama dia tidak berinteraksi dengan orang sebayanya seperti ini. Bahkan sudah lama rasanya sejak ada yang bertanya keadaannya dengan selembut ini.

Mata Radea memanas, perasaannya campur aduk. Ada setumpuk beban yang tidak pernah bisa dikeluarkan sehingga menekan pikirannya. Semuanya terlalu hancur untuk diperbaiki. Radea benar-benar sakit mentalnya. Dia depresif. Trauma yang tidak bisa dibuang dan terus menghantuinya. Trauma yang menyelubungi otaknya menjadi pikiran yang menilai segala hal di sekitar menjadi negatif, bahkan dirinya sendiri. Semua manusia buruk di mata Radea, kecuali orang yang dia sebut adik dan ibu.

Introvert VS Ekstrovert ✔️Where stories live. Discover now