34 || "Gak apa-apa"

295 54 16
                                    

"Gimana, Dok?" tanya Danil yang spontan berdiri saat seorang Dokter diikuti perawat keluar ruangan.

"Syukurnya nggak apa-apa. Pasien minum air yang sudah dikasih obat bius. Sekarang pasien sedang tidur," jelas seorang wanita berusia kepala tiga yang menggunakan jas putih khasnya. Dokter itu tersenyum ramah memastikan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh keluarga pasien.

Seorang wanita yang sejak tadi meremas jari-jemarinya berkata, "Dok, pasien punya trauma masa kecil. Saya tadi sudah telepon Psikolog yang biasa menanginya, tidak apa-apa 'kan, Dok, kalau Psikolog-nya memeriksa langsung ke sini?"

Dokter itu tersenyum sembari memegang pundak wanita yang bertanya tadi. "Tentu saja tidak apa-apa, Bu. Itu pasti akan lebih baik kalau Psikolog-nya datang langsung ke sini."

"Terima kasih, Dok," kata Danil saat Dokter tersebut pamit pergi.

Danil terkejut saat wanita di sampingnya tiba-tiba memegang lengannya erat, seperti butuh pertahanan.

"Bu Yen, kenapa, Bu?" Danil memegang kedua bahu Bu Yen, membantunya untuk duduk di kursi pengunjung di luar ruang rawat. "Radea sudah nggak apa-apa kok, Bu. Jadi jangan terlalu dipikirin."

Setelah membawa Radea ke rumah sakit tadi, Danil langsung menelepon Bu Yen dan menjelaskan singkat keadaan Radea di rumah sakit. Untungnya, Bu Yen menyuruh seluruh anak indekos untuk menyimpan nomor ponselnya, sehingga Danil tidak terlalu kelabakan untuk menghubungi keluarga Radea.

Bu Yen menggenggam tangan Danil, netra wanita itu berkaca-kaca. Ada rasa bersalah di matanya. "Terima kasih, ya, Danil sudah nolongin Radea. Kalau nggak ada kamu Ibu nggak tau lagi apa yang akan terjadi sama dia." Air mata Bu Yen jatuh, dia begitu terpukul saat tahu kronologi kejadian dari cerita Danil.

"Iya, Bu, sama-sama. Radea sudah nggak apa-apa, Bu. Dia sudah aman sekarang, untuk urusan Galang biar jadi urusan saya."

"Bukan cuma itu masalahnya, Danil."

Dahi Danil berkerut, menatap Bu Yen penuh tanya. Memangnya apalagi yang lebih penting daripada keselamatan Radea?

"Kamu tau 'kan Radea seperti apa di sekolah? Dia tidak bisa berteman dan takut berinteraksi sama orang-orang. Dia cuma kenal saya dan Vinan di sini."

Danil mengangguk, mendengarkan dengan saksama ucapan Bu Yen. Wanita itu bercerita putus-putus, merasa berat kalau harus membocorkan masalah yang dihadapi Radea.

"Dia ... anak broken home. Memang seharusnya efeknya tidak sebesar ini, tapi kasus Radea bukan cuma karena perpisahan orang tuanya."

"Radea bukan anak Bu Yen?"

"Radea sudah saya anggap seperti anak sendiri, saya rawat dia dari umur tujuh tahun. Dia sama seperti kamu anak kos juga, cuma bedanya dia sudah menjadikan kos itu rumah."

"Orang tua Radea?"

"Setelah bercerai, masing-masing orang tua Radea punya keluarga baru. Ayahnya sekarang di Singapura, kalau Ibunya ada di luar Pulau Jawa." Bu Yen menghela napasnya dalam-dalam. "Ibu takut setelah kejadian ini trauma Radea semakin parah. Takut Radea tidak bisa hidup normal seperti remaja seumuran dia. Radea punya banyak rasa takut, Danil."

Bu Yen menggenggam semakin erat kedua tangan Danil. "Ibu minta tolong sama kamu, ya. Tetap jadi teman Radea, tetap berteman sama dia walaupun dia menolak. Radea anak baik, Danil." Wanita itu terus terisak di sepanjang bercerita. Ikut merasa terpukul dengan kejadian yang menimpa Radea kali ini.

"Ibu tenang aja, saya sudah kebal ditolak jadi teman Radea." Danil terkekeh mengingat betapa kakunya Radea yang awal-awal dia kenal, tetapi semakin lama Radea sudah mulai terbuka. Perubahan itu adalah langkah yang sangat baik, Radea bisa sembuh dan hidup normal, Danil yakin.

Introvert VS Ekstrovert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang