003.

17.1K 3.3K 414
                                    


Bagian 3: Monolog Hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 3: Monolog Hati.

"Bang Dimasss!"

"Iya Haidar bentarr!"

Dimas mengusak kepalanya yang tidak gatal. Baru saja menyelesaikan laporan pertanggung jawaban yang ditagih oleh teman semasa jahiliyah miliknya—Tara. Si ganteng pecinta kebersihan itu rupanya tidak pernah, dan tidak akan pernah membiarkan Dimas bersantai. Koloni burung di luar sana berkicau, menandakan senja yang sebentar lagi akan turun dari singgasananya. Berganti tugas dengan sang rembulan, si penghuni langit yang sama. Kicauan itu terdengar nyaring seolah mengejek lembayung yang harus rela pergi dari lukisan agung.

Dimas tertawa pelan, makin puitis saja dirinya. Terlalu piawai bermain kata, tapi hatinya masih terlalu tumpul akan rasa?

Selagi benda elektronik bernama laptop itu masih menyala, Dimas sempatkan dirinya untuk mengetik e-mail singkat untuk sang ibu—semata karena biaya operator beda negara itu mengerikan. Mungkin sudah diketahui, fakta kalau ibu dan Ayah Dimas berpisah. Bukan karena perkelahian—hanya rasa tidak pantas yang mengendap dalam hati sang ayah. Selebihnya, biar Dimas sendiri yang ceritakan.

Jarinya menari di atas papan ketik,

Assalamualaikum, Mama.

Gimana kabar Mama? Semoga baik, semoga sehat. Di sini Dimas nggak pernah berhenti berdoa untuk kebahagiaan Mama di sana. Ayah baik, kerjaannya lancar. Masih sosok tangguh yang selalu aku pandang. Haidar juga baik, walau sepertinya ia sedang melewati masa puber—tapi masih nggak lewat batas wajar.

Mama mungkin bertanya-tanya, kok anakku Dimas yang dulu nilai bahasanya nggak pernah lewat dari KKM sekarang rangkaian katanya bak penggubah puisi saja? Hahaha. gini Mah,

Dari semasa aku naik kelas 2—mungkin Mama lupa, tapi aku ini anak OSIS. Dan kebetulan aku juga yang mengurus segala tetek-bengek masalah MOS dan segalanya. Mungkin Mama bisa bayangin aku dengan segala emosi sumbu pendekku. Jangan salahkan, aku dapat gen ini dari Mama juga.

Semasa ini dapat peran besar dalam hidup aku. Tapi et, tunggu bentar.

Mungkin Mama lupa juga—tapi dahulu aku itu, ah, gimana ya jelasinnya. Sebenarnya memalukan kalau mengakui kalau aku dulu itu berandalan-aku diam-diam berontak selama kalian memutuskan untuk berpisah. Aku cuma bingung, bagaimana bisa rumah tangga yang dijalani dengan begitu bahagia bisa berakhir begitu saja? Seolah cinta kalian hanya kontrak dan punya masa kedaluwarsa. Padahal lilin tidak pernah padam dan kalian tidak pernah berpaling ke lain hati.

Tapi sekarang aku paham, kalau beberapa hal, memang nggak bisa dipaksakan.

Semuanya pasti lebih sulit untuk kalian yang masih saling mencintai.

Pendewasaanku terjadi begitu saja—dan aku bersyukur. Kalau memang begini jalannya, biar aku pandang dunia dengan dewasa. mungkin, ini jadi pembelajaran yang baik. Mungkin, pengaruhnya akan baik pula untuk teman sekitar aku.

Yang lumayan berperan besar dalam kurun waktu setahun ini, si cewek itu, Mah.

Inget, Ayuna Nafara Lembayung? Si pemilik nama senja agung itu memang si penggubah sajak. Rangkaian katanya begitu sejuk dan setiap membacanya, aku berasa diselimuti permadani indah dari sutra. Namun, di saat yang sama, ia mengajarkanku sederhana. Di saat para orang lain mencari muka tapi berkata busuk di belakang, ia adalah yang paling pertama menutup telinga. Di saat yang lain sibuk mencemooh penampilan orang, ia hanya tersenyum dan berkata,

"Kita hidup di masyarakat yang membuat kita susah bahagia, Kak. Gendut, lah. Kurus, lah. Menor, lah. Nggak pinter dandan, lah. Padahal semuanya tergantung kepuasan diri dan kebahagiaan masing-masing."

Di saat aku bilang ia cantik, paras dan perkataannya, ia malah merengut dan berkata,

"Gombal, ya, Kak Dimas." Padahal aku serius.

Di saat yang lain pemikirannya masih terkotak di situ saja, ia sudah berani mengambil langkah, "Kakak hidup bukan untuk diberi nilai, kan?"

Itu di saat MOS, Mah. di saat peserta didik baru mencap aku galak, dia menganggap aku tegas. Di saat yang lain bilang aku sok ngatur, dia bilang aku perhatian. Pandangnya baik, mungkin semenjak saat itu aku sudah menaruh perhatian padanya.

Pipinya biasa merona ditimpa sinar matahari yang hangat, tapi aku tahu Tuhan tidak suka bila aku terlalu memuja ciptaan-Nya. Jadi aku diam saja. Biar kupuji dia dalam hati, biar kukagumi dan kusimpan apik dalam memori.

Mama, apa mungkin, sekarang ini aku

"BANG DIMAS!!"

"ALLAHU AKBAR!" Dimas terperanjat, melirik marah ke adik tersayangnya, Haidar. "Apa-apaan sih Dar! Abang lagi sibuk juga!"

"Itu laptopnya kok diturunin segitunya Bang? Emang kelihatan?" Haidar bertanya, kepo. "Lagi nonton pilem biru ya?"

Dimas melotot.

"Anak kecil sok-sok ngomong film biru! Udah sana cuci kaki terus bobo!"

Lalu Haidar pergi dengan menggerutu, betisnya dihentak-hentak sebal. Sementara Dimas menghela napas.

"Yun!"

Ayuna berbalik, mendapati seorang Tara sedang tersenyum simpul sambil membawa-bawa semprotan pembasmi nyamuk, Force Magic. Seketika si gadis menatap horror. Mau dimatiin aku rupanya.

"Oke Kak, aku ngaku salah." Ayuna mengangkat kedua tangannya.

Tara mengernyit, "Hah?"

"Aku yang berantakin ruang sekre kak, aku."

"Ayuna—""Aku juga yang lupa nyapu tadi pagi Kak, maaf!"

"OH KAMU YANG NGGAK PIKET TADI PAGI?"

Nah kan, keluar singanya.

"Haduh, lupain lah. Pokoknya, pulsek kamu yang beresin, titik," ujar Tara tanpa bantahan, "Eh tapi aku pengen bawa kamu pulang sekolah deng."

Ayuna memasang raut bingung. "Ngapain Kak?"

"Nyari kado," jawab Tara, "Anak-anak perlengkapan lepas tanggung jawab semuanya udah. Katanya capek habis beresin panggung semalam. Kamu mau, 'kan, nemenin?"

Alamat ditebas kalau nolak. Itu batin Ayuna. Jadi ia cuman mengangguk singkat. Kurang tahu saja sebenarnya hati Dimas yang diam-diam bersembunyi di balik tiang sudah kelelep air di lautan cemburu.

Dengan langkah pelan, Dimas menjalankan kedua tungkainya, berniat pergi.

Ah, walau langkahnya, lebih mengumandangkan maksud untuk kabur ketimbang untuk melangkah pergi.

Ah, walau langkahnya, lebih mengumandangkan maksud untuk kabur ketimbang untuk melangkah pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tbc.

SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang