030.

3.8K 809 188
                                    

haiiii ini jadi chapter paling berat yang pernah aku ketik, semoga hasilnya memuaskan yaa

anyway big thanks to jenogurita atau @jenoctopush yang dah bantu aku memilih lagu saat ini dan seterusnya♡

Play on Spotify : Nadin Amizah - Mendarah di paragraf yang ditentukan

!please do not be a silent reader¡

semenjana sudah mendekati tamat nih hehehe

enjoy reading!

Bagian 30: Jangan Menangis (Kalau Akhirnya Kita Bisa Tersenyum)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagian 30: Jangan Menangis (Kalau Akhirnya Kita Bisa Tersenyum)


39 derajat Celcius.

Pil pahit dan sirup untuk batuk radang harus Ayuna telan dalam tenggorokannya, beserta omelan sang ibu yang sepertinya tak akan pernah habis sampai akhir masa. Lemas, tubuh Ayuna lemas sekali sebenarnya. Linu dan nyeri di segala sisinya dan panas dari ujung dahi sampai ujung kaki. Pandangannya buyar, panas tinggi memang penyakitnya yang paling ia benci. Bagaimana bisa ia tumbang dengan hanya sekali hujan-hujanan?

Kalau begini, yang kena getahnya pasti Dimas lagi.

"Kalau Dimas punya mobil, dia nggak bakal biarin kamu kehujanan."

Ayuna diam. Ibunya mengganti kompresnya, berlutut di sebelah tempat tidur.

"Atau nggak, mesenin kamu Grab supaya kamu nggak perlu kena hujan sampai sakit gini."

Dengan susah payah dan napas yang serak, Ayuna menjawab."... Udah malam, Bu. Masa dia biarin aku pulang sama orang nggak dikenal?"

"Kalau dia memang sayang kamu, dia nggak bakal biarin kamu hujan-hujanan, di saat malam pula."

Ayuna pun, lagi-lagi hanya diam.

Entah apa yang ibu lakukan, beliau tampak bercakap di telepon begitu lama. Sepertinya masalah kerjaan, seraya sang wanita paruh baya tersebut mengambil tas kantornya dan mengecek suhu putrinya sebelum beranjak pergi. "... Nanti Ibu bawakan makanan, kamu istirahat dulu." Ayuna tak begitu menangkap awal kalimatnya, kalau tidak salah bersinggungan dengan makanan yang telah kedaluwarsa di kulkas dan tak sengaja ia makan tadi malam. Entahlah, yang ia ketahui hanyalah kepalanya sakit dan pandangannya telah perlahan memburam.

"Kamu sakit?" Dimas di ujung sambungan telepon bertanya dengan nada sarat khawatir. Kepala Ayuna seketika pening mendengarnya. Gawainya yang ditaruh di lemari belajar itu berdering, lama sekali. Ayuna mau tidak mau mengangkatnya sampai ia ingat, ah, aku belum ngabarin pacar kalau aku sakit. Nggak terlalu penting juga, menurut Ayuna. Ia tidak ingin memberatkan Dimas, mengingat lelaki itu tengah mengumpulkan tugas akhirnya. Dan seingat Ayuna juga, beberapa hari lagi pengumuman SNMPTN yang sudah Dimas tunggu dengan jantung berdebar.

Ia tidak ingin menambah pikiran si Angkasa.

"Iya," sengau Ayuna. "Udah rada mendingan, mungkin udah turun ..."

SemenjanaWhere stories live. Discover now