hari spe(sial) untuk angkasa.

7.8K 1K 267
                                    

Suaranya sayup-sayup, menyapa gendang telinga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suaranya sayup-sayup, menyapa gendang telinga. Membuat pemuda 17 tahun itu mengerjapkan matanya. Pandangan yang buram, diisi cahaya yang menampilkan saturasi kamar nan redup. Bumi terbangun, memandang bantalnya untuk sejenak. Kumandang adzan waktu subuh dari mushola terdekat itu terdengar, memanggil Dimas untuk datang, menjalankan kewajibannya.

Mengedarkan pandangnya pada ruangan hingga ke sudutnya. Lemari reyot dengan kursi yang telah lapuk. Nakas yang diisi jam beker dan kertas-kertas hasil ulangan, kipas berdiri yang berbunyi sumbang, sebuah meja yang sepaket dengan kursi lapuk tadi, juga teve yang tak lagi menyala. Dimas mengusap-usapkan kedua tangannya ke wajah dengan kasar. Sebelum kemudian beranjak untuk mengambil wudhu.

Sebuah keseharian biasa, saat air sejuk itu membangunkan seluruh inderanya sepenuhnya. Dimas lalu menaruh tangannya yang masih dingin itu di betis Haidar, membangunkan adiknya, sebelum kemudian mengambil sajadah dan bertolak ke mushola.






Bapak nggak pulang hari ini. Kalau gitu, sarapannya untuk 2 orang ... batin Dimas setengah sadar saat sandalnya memijak tanah, ia baru sadar adik semata wayangnya masih tak muncul juga batang hidung yang peseknya itu.

Dimas lalu memencak dalam hati, kemudian masuk lagi dalam rumah untuk menyeret Haidar ke jalan yang benar.

Bumi sudah tua, masih aja belum mau tobat. Dikira surga ada jalur orang dalamnya apa. Begitu Dimas mengomel sambil meluncur ke kamar Haidar.



"Iya ... iya, jangan deh kayaknya. Sabar dulu—"

Dan pemandangan Haidar yang tengah telponan dengan suara perempuan yang menyahutnya, membuat urat sabar Dimas putus.

"OALAH PACARAN RUPANYA! HEH, TERMOS ALUMINIUM, SHOLAT DULU BARU PACARAN! BURU SINI!"

"ABANG!" Haidar terlonjak dari kasurnya, dramatis. Mukanya seperti baru melihat hantu. "Sialan Bang. Jantung gue kayak ketahuan nyolong duit tuyul."

Dimas memandang Haidar dengan aneh. "Di mana-mana tuh tuyul yang nyolong duit lo, unyil. Cepet sini, nggak tahu diri lo dosa jalan ibadahnya macet, diketawain sama setan."


"FYI aja nih Bang ada azab buat orang nggak sabaran."

"NGGAK SABARAN GIMANA SIH ORANG NGAJAKIN SHOLAT NGGAK BOLEH DITUNDA-TUNDA MASIH UNTUNG ABANG INGETIN—"

"ISTIGFAR BANG ISTIGFAR, ASTAGFIRULLAH—"

"ISTIGFAR KAYAK INGET ALLAH AJA LO. CEPET KE SINI APA ABANG YANG KE SANA?"





Haidar mencibir, bibirnya monyong-monyong mengejek Dimas tanpa suara. "Cipit ki sini ipi ibing ying ki sini. Ngomeelllll terus kea kereta api, lancar jaya. Kasihan Mbak Yun—"

"HEH! DIKIRA ABANG BUDEK APA!?"

"YA KAGAK! BIAR ABANG DENGER INI MALAH! HAIDAR NIH SAKSI HIDUP KEKEJAMAN ABANG!"

SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang