020.

5.7K 1.2K 121
                                    

Bagian 20: Mengenai Ragu, Rasa, Luka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagian 20: Mengenai Ragu, Rasa, Luka.





Dimas merasa seperti bermimpi.

Jika serbuk pasir dari bunga-bunga melati itu membuatnya terbuai dalam mimpi buruk, tolong bangunkan ia segera. Ini sungguh tidak lucu, bahkan untuk ukuran hanya sekadar canda. Dimas merasa seperti istana pasir yang ia bangun telah rubuh tak bersisa. Seolah hatinya telah ditumbuk habis tanpa belas kasih atau semacamnya.

Namun Dimas ingat lagi. "Apa ini gara-gara keraguanku?" batinnya. "Apa dia tersinggung aku seolah terus ngerendahin diri gitu? Apa dia capek sama hubungan yang nggak ada kepastian gini?"

Dimas ragu, itu betul dan tak bisa disangkal. Namun, seperti yang telah ia katakan, seolah ada anak tangga yang membuatnya mau tidak mau merasa berada di tempat yang berbeda dari Ayuna. Genggaman tangan yang serasa ringan bagai bulu itu kini begitu berat untuk dijabah. Hati yang dahulu jatuh dengan sempurna, kini menggantung bebas di udara. Jika benar harap yang kugantung untuk terbang, mengapa hanya insekuritas yang bebas mengawang?

Andai kita dapat berdiri berdampingan, pantaskah aku dengan keadaanku yang sekarang?

Bohong kalau Dimas, dengan segala filosofi dan analogi, juga pengertiannya mengenai perasaan dan cara pandang, sudah percaya betul akan dirinya. Tidak, Dimas Nawasena Angkasa tetaplah manusia biasa, juga remaja, yang mau tidak mau pernah merasa dirinya kecil dan tidak berguna. Aku yang sekarang, tidak pantas untuk kamu, Ayuna.

Dibanding apapun, Dimas tetaplah dirinya yang sekarang. Masih remaja, belum paham benar perihal perasaan. Masih ragu dan penuh ombang-ambing di perahu kecil dalam hatinya. Namun ia mengecam pedas ketika sadar dirinya tahu, tapi tidak mengambil tindakan.

Berbagai kata dan aksara yang ia pelajari, Dimas tetaplah pengecut.

"Sebenarnya kenapa?" Keadaan penginapan sepi, para panitia pergi untuk mengecek sekali lagi arena jurit malam nanti, hanya tersisa Dimas di kamarnya. Kebanyakan temannya merangkap anggota lapangan, hanya ia yang tidak. (Teman-temannya kelewat tahu kemageran Dimas hampir mirip induk macan yang lagi hamil). Dan Dimas tidak mengira akan kehadiran Jeffrey di depan pintunya.

"Kenapa apanya?" tanya Dimas dengan nada heran. Sudah lama juga ia tidak berbincang dengan Jeffrey, semenjak lelaki itu menjabat jadi Ketua MPK. Rasanya canggung, dengan tatap Jeffrey yang tak sekalem biasanya. Pandang Jeffrey lebih menjurus ke arah dingin, terbersit dalam netra gelita miliknya walau berusaha si adam tutupi.

"Kenapa lo berengsek gitu?" ujaran Jeffrey berikutnya mencelos hati. "Gue ingat lo memperlakukan perempuan dengan berharga. Terus kenapa gue harus lihat Ayuna sedih gara-gara lo, yang katanya nggak bisa nyakitin perempuan?"

Dimas terdiam sejenak, terhenyak. Mencerna bait-bait kata yang dimuntahkan Jeffrey yang masih setia berdiri di depan pintu, kedua lengan terlipat di depan dada. Sebelum kemudian ia tertawa miris, paham arti kalimat yang dilontar Jeffrey begitu cepat. "Lo masih perhatian sama Ayuna?" tanya Dimas dengan nada yang rumit bagai benang-benang kusut. "Ya pastilah, makanya lo tahu keadaan sekarang."

SemenjanaWhere stories live. Discover now