029.

3.7K 805 127
                                    

haeee gaesss berhubung dah terpenuhi jumlah votenya nih aku apdet yaaaa

!please don't be a silent reader¡

enjoy reading♡




Bagian 29: Temaram

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagian 29: Temaram.

"Mbak Yun kok mau-maunya sama Bang Dimas?"

Aroma jagung bakar, ditemani oleh langit Borneo yang penuh kilap gemintang. Ayuna tertawa pelan sambil menikmati pemandangan pacarnya yang langsung mencubit si adik tepat di paha. Mereka bertiga sedang memesan jagung bakar di warung pinggir jalan, dengan pemandangan hingar-bingar jalan raya dan sungai kota. "Ngomong udah kayak setan penghasut aja." Dimas mencebik sebal.

"Ya bener kan Mbak, ngapain sama Bang Dimas. Muka standar, harta nggak ada. Mau makan pakai apa emangnya?"

"MULUT LU NGGAK PERNAH ABANG CABEIN YA!!?"

Rembulan sedang penuh-penuhnya.

Haidar mau diajak bicara setelah dipermalukan di depan Ayuna—"Kamu kan cowok, malu nangis di depan Mbak Yun nih. Masa ditinggal pergi buat studi aja nangis, gimana ntar kalau ditinggal mati?"—Kejam memang. Tapi untuk si bebal Haidar, cara ini cukup ampuh untuk menyentuh nuraninya. Dengan genggam yang semu dan samar, Haidar merasakan kulit dingin sang abang di jemarinya.

"Kenapa harus ke Malang, Bang?"

Untuk sejenak, dalam detik-detak yang lenyap oleh hingar-bingar kota kala malam, Dimas terdiam. Pemuda genap 18 tahun itu menahan napasnya, sementara si adik—si manja, menunggu jawaban dengan netra merunduk layaknya padi berisi. Ayuna di sebelahnya diam, melempar jauh pandangan pada pagar yang memisahkan mereka dengan sungai kota.

"Kenapa?" Dimas mengulang pertanyaan si lawan bicara. "Kenapa ... Haidar, percaya nggak kalau Abang bilang, Abang punya mimpi?"

"Semua orang juga punya mimpi, Bang," ucap Haidar dengan cepat. "Aku juga punya mimpi, Mbak Yun juga punya mimpi. Bahkan—bahkan Mama dan Bapak dulu juga punya mimpi." Pemuda itu rehat sejenak. "Tapi aku nggak ngerti."

Dengan sabar, Dimas bertanya lagi. "Apa yang kamu nggak ngerti?"

"Kenapa harus ke sana? Kenapa nggak di sini aja? Bukannya di sini juga ada prodi Kedokteran? Bukannya di sini ada Bapak, aku, sama Mbak Yun?" Resonansi getaran suaranya terdengar tanpa tipu muslihat. Dimas seketika merasakan hatinya seolah diikat dengan tali tambang. "Terus apa yang bikin Abang mau keluar dari zona nyaman, padahal di sini juga tersedia apa yang Abang butuhkan?"

Desir angin malam itu memeluk sunyi. Suara layapan api terdengar hingga Ayuna larut dalam pikirannya sendiri. Kenapa keluar zona nyaman?

Kenapa?

Ia yakin semua jawaban tiap individu akan berbeda. Karena ia mengenal Dimas, tapi bukan berarti Dimas adalah dirinya. Dimas tetaplah seseorang yang berpijak, juga berprinsip dalam prospek hidup yang ia rancang sungguh-sungguh. Dimas adalah ... Dimas, yang menyusun rancangan masa depan sesuai dengan apa yang ia pegang teguh sebagai pondasi.

SemenjanaWhere stories live. Discover now