024.

6K 982 213
                                    

hAIII ada yang kangen nggak????

(hening)

2000 words btw ganti aku hibernasi lama hehehee happy reading!

2000 words btw ganti aku hibernasi lama hehehee happy reading!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagian 24: Tumpu pada Sandaranku.

Selasa malam. Langit hari itu sudah menggelap layaknya tinta. Sudah digantungi bintang-bintang dengan kilau kemilau yang berbeda-beda. Ada yang sinar, ada yang sirna. Ada yang datang, ada yang hilang. Hari itu, Ayuna masih saja kenyamukan di depan teras rumahnya. Ayuna malam itu gabut parah. Tugas sudah selesai dan semua beban pikiran telah ia obok-obok sampai mampus dan bosan sendiri. Ia membuka ruang percakapan dengan sang kekasih dengan tampang mirip kelinci pemarah itu. Nihil. Masih tak ada kabar dari Ashar tadi. Biarlah.

Si gadis yang tengah terduduk dengan posisi betis terlipat, gagal memuat tubuh bongsornya di kursi itu secara sempurna, paham betul Dimas sedang kewalahan membagi waktu. Ia juga tahu mas pacar dengan senyum gusi manisnya itu adalah seorang perfeksionis yang mengerjakan segala sesuatu hal dengan sepenuh hati dan usaha semaksimal mungkin.

Kadang, Ayuna mengapresiasi dedikasi Dimas pada dunia. Dimas tidak pernah setengah-setengah dalam segala sesuatu. Contohnya saja, saat itu Ayuna tengah murung. Suntuk sekali. Jadwal padat dengan tugas yang terus menyerang hingga tertimbun bagai harta karun, bedanya, si remaja tidak senang sama sekali melihat tugas-tugasnya. Dimas yang saat itu menyadari tampang bersungut si mbak pacar langsung mengambil tangan yang lebih halus dari miliknya. Menggenggam. "Mau aku nyanyiin?"

Dimas tahu walau suara Ayuna mampu membangunkan ayam sebelum waktunya berkokok, si lembayung senja sangat menyukai segala jenis lagu. Lokal maupun luar negeri, Ayuna tetap antusias mendengarkan. Dimas sangat suka Ayuna yang bahagia dengan cara sederhana.

"Nyanyiin apa?"

"Terserah aja. Kamu mau apa?"

"Kak Dimas pilihin."

"Ayuna pilih sendiri. Jangan manja."

Cemberut, tapi tak lama. Pipi yang menggembung itu hampir saja Dimas tusuk dengan jari telunjuk sebelum si kekasih berujar riang. "Untuk hati yang terluka - Isyana, tahu kan?"

Si pemuda dengan senyum yang tak luntur, juga kacamata dengan frame besar itu mengangguk. "Tahu. Sini, denger baik-baik." Sepersekian detik berikutnya, suara serak yang lembut nadanya itu terdengar mengalun indah di antara udara. Atmosfer di sekitar Ayuna yang tadinya serasa begitu berat dan mencekat, seketika sejuk dan bersahabat. Suara Dimas adalah tempat nyaman dan sebuah penyembuhan bagi Ayuna.

Untuk hati yang terluka
Tenanglah, kau tak sendiri

Pandang Dimas naik, mengunci tatap dengan iris legam bagai jelaga milik si gadis. Binarnya tampak sejuk seperti pinggir dermaga, namun juga bagai bintang jatuh di gugusan angkasa. Mata Dimas yang terkesan galak dengan ujung lancip bagai mata kucing itu malah menyorot sangat bersahabat.

SemenjanaWhere stories live. Discover now