032.

4.1K 711 88
                                    

haiiiiii sumpa hshshs aku perlu nyiapin hati lama banget buat ngetik chap ini (dan chap-chap selanjutnya) karena sebenernya aku nggak kuat banget sama angst ... maunya hepi-hepi aja tiba-tiba si dimas sama hyunae uda ngedate lagi di alun-alun atau sepedaan ...

makanya aku lebi tertarik revisi duluan hsjsjsjs paling nggak aku bisa ngetik lagi momen-momen mereka masih bahagia

karena kodratnya manusia nggak pernah siap sama perpisahan.


selamat membaca!♡

Bagian 32: Pintu Terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 32: Pintu Terbuka.

(Pintu terbuka, entah untuk masuk, entah untuk keluar).

Tirai itu tersibak, menampilkan figur tegap dengan gurat lelah tepat di bawah kelopak. Wajahnya bersahaja, tak jatuh, masih mempertahankan wibawanya. Dimas mengingat sosok ibu Ayuna sebagai figur tegar dengan bahu baja, sekian dari wanita-wanita berkesan dalam hidupnya. Walau, tak bisa disangkal, ia selalu teringat bahwa secara pahit, wanita hebat tersebut tak pernah menerimanya sebagai kekasih hati sang gadis pujangga.

Jantungnya berdebar kencang, lebih kencang dari pacuan kuda. Maniknya gemetar dalam keraguan dan lidahnya seolah lumpuh seketika. Haidar tetap memegang bahu sang abang dari belakang, memberi kekuatan.

Ibu itu — pasti mamanya Mbak Yun, begitu kesimpulan Haidar. Terbukti dengan payung duka dan awan hitam yang dibawa ke dalam ruangan, mengekor di belakang si wanita paruh baya.

Hening. Manik keduanya beradu dalam satu garis temu. Keduanya sama kuat, walau jelas, Dimas gentar dalam duduknya.

"Tante ..." Dimas menunduk, meremat selimut yang membungkus betisnya. "... Saya minta maaf, Tante. Sebesar-besarnya, saya bersedia Tante tampar, saya bersedia menerima makian Tante. Saya ..."

"Saya nggak tahu harus ngomong apa sama kamu."

Ujungnya runcing bagai tombak. Kalimat Dimas terpotong begitu saja, tangannya mengepal keras hingga buku-bukunya memutih.

"Saya bisa menampar kamu sekarang juga." Netra legam itu tidak sedalam yang Dimas kira. Dimas Nawasena, dalam berhadapan pada orang tua dari gadis yang ia cinta itu, tak pernah berani memandang terlalu lama. Takut. Netra itu tak sehangat yang netra manapun pernah Dimas temui, keping hitam itu dahulu Dimas interpretasi sebagai sesuatu yang menakutkan, yang bisa mengoyaknya begitu saja. Sebegitu menakutkan.

Tapi kali ini, hanya terlihat tatapan lelah. Manik itu tidak dalam, cenderung kosong. Dihias binar bagai suryakanta, berkaca-kaca.

"Tapi putri tersayang saya nggak bakal suka itu."

Lagi, hati Dimas menyesak.

"Kamu bilang mau bahagiakan anak saya, Dimas."

Dimas terdiam, napasnya tertahan di kerongkongan.

SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang