Chapter 12 - Care

15 4 5
                                    

Yang diinginkan Riata hanyalah kebahagiaan dan perhatian. Mungkin keperluan materi yang dibutuhkan Riata sudah tercukupi, bahkan melebihi batas kebutuhan seorang anak. Namun sebagai manusia, ia kekurangan kebutuhan psikologis yang seharusnya dicurahkan oleh kedua orang tuanya.

Mel.. Maafkan aku. Kamu yang memintaku untuk melakukan ini.. Mau bagaimanapun, hanya kamu yang aku suka.

Dilihat dari gerak tubuh Riata, sepertinya ia sedang salah tingkah tingkat tinggi. Bahkan, Riata terus berusaha mengalihkan pandangannya dari Nath.

"Aku tahu.. Riata. " Nath tersenyum. Senyuman yang tampak dipaksakan, dan lebih terlihat seperti ujung bibir yang tertarik oleh benang.

"Ugh.. Kau mengetahuinya, ya?" lidah Riata kelu, seolah menahan tangis.

"Hiks.. Kenapa kamu gak pernah kasi tahu?" Riata langsung berhambur ke pelukan Nath.

Perlahan, Nath mengelus pundak Riata menggunakan tangan kanan nya. Nath melihat ke depan, sosok Mel sudah tidak terlihat.

Perasaan Nath saat ini benar-benar tidak dapat didefinisikan. Ia tidak mau membuat Mel sakit hati, namun Mel malah meminta Nath untuk membuatnya patah hati.

Nath melepas pelukan Riata,"Aku tahu kok. Jadi, terus semangat melawan penyakitnya, ya.. Aku akan terus mendukungmu. " ucapnya sambil mengusap rambut Riata. Riata mengangguk kecil.

Tubuh Riata masih bergetar, namun Nath meninggalkannya di tengah taman sendirian.

Keadaan semakin runyam. Mel tidak dapat ditemukan dimana pun. Nath terus mencari Mel di tempat-tempat yang mungkin didatangi Mel, namun hasilnya nihil. Ia mencari sambil berulang kali menelepon Mel yang tidak jua diangkat.

Nath bingung dengan tingkah Mel. Antara iya dan tidak. Antara kepedulian dan kebodohan. Antara cinta dan persahabatan. Ntah apa yang akan terjadi kedepannya, yang pastinya Nath akan mempersiapkan diri.

~~~^0^~~~

Keesokan harinya di sekolah, Nath menemui Mel saat jam istirahat. Ada banyak hal yang harus didiskusikan bersama. Mereka pun mengambil tempat di belakang gedung sekolah, tempat nongkrong favorit mereka.

Mel hanya diam sejak tadi. Pandangannya kosong, matanya berkaca-kaca. Mungkin Nath dapat menebak perubahan tingkah laku Mel yang kentara, namun Nath masih berusaha untuk memahami apa yang dirasakan oleh hati kecilnya yang rapuh.

Langit yang dapat terlihat jelas dari belakang gedung sekolah ini seolah mencerminkan suasana hati mereka berdua sekarang, mendung. Padahal kemarin cuacanya lumayan bagus. Hm.. perubahan yang signifikan.

"Mel.. Tidak apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa. Mari kita bahas masalah ini lain waktu saja, oke?"

Dapat dilihat bahwa jemari Mel tegang dan membeku. Terlalu banyak beban di pundaknya. Dan Nath tahu itu. Namun Nath memilih diam, karena Mel hanya membutuhkan keberadaan Nath daripada ceramahnya. Nath meraih dan menggenggam tangan Mel.

"Nath, apa cita-cita mu?"

"Eh?" pertanyaan tiba-tiba Mel membuat Nath tercengang. Bagaimana bisa dia menanyakan hal itu disaat seperti ini?!

"Emh. Penyanyi, atau peneliti mungkin? Kenapa tiba-tiba?" jawab Nath.

"Penyanyi? Peneliti? Bukankah itu pekerjaan yang bertolak-belakang ya?" tanya Mel, menghiraukan pertanyaan Nath. Mel hanya mencoba mencairkan suasana yang memang sudah dingin sedingin es di Kutub Selatan.

"well, aku ingin menjadi penyanyi karena aku memang hobi menyanyi.." jawab Nath. Mel mengangguk-anggukan kepalanya setuju."...dan aku ingin menjadi peneliti karena tampaknya seru, bisa masuk laboratorium dan melakukan eksperimen, haha."

Nath terkekeh geli dengan jawaban absurdnya sendiri. Mel juga tersenyum sekilas.

"Kamu cocok menjadi penyanyi kok.. Tapi kalau peneliti.. Sepertinya kamu harus belajar lebih rajin dan tekun." ucap Mel sambil menatap Nath. Nath berbalik menatap manik biru Mel dengan dalam. Mereka terdiam beberapa saat, membiarkan pandangan yang berbicara.

Tersadar dari tatapan maut Nath, Mel teringat sesuatu.

"Nath.. Hari ini aku tidak ingin pulang ke rumah." 

"Kenapa?" Nath menyelipkan rambut Mel ke belakang telinganya. Wajah serius Mel menjadi lebih santai.

"Ada masalah lagi di rumah. Ketika tidur rasanya tidak nyaman."

"Hm? Kalau begitu.. " Nath bangkit dari duduknya. "Kamu bisa tidur di rumahku."

Mel sedikit terkejut dengan jawaban Nath yang terlalu blak-blakan. Ia bingung.

"Hahahaha."  Nath tertawa sampai air matanya keluar.

Ekspresi Mel masih tersirat rasa heran dengan tingkah Nath. Padahal tadi mereka hanya diam-diaman, tapi sekarang...

"Iya deh, nanti malam kita begadang jalan-jalan.. Lalu saat pulang ke rumahku bisa langsung tidur, gak akan berani macam-macam lagi karena udah kecapean, oke?" usul Nath. Hm, ide yang lumayan menarik.

Mel mengelus dagu dan bibirnya, dengan tangan kiri yang menopang tangan kanannya. Sepertinya Mel sedang berpikir keras.

"Oke. Kita begadang." Mel ikut berdiri.

"Yosh!" Nath melompat hendak memeluk Mel.

Kriiingg.... Kriiingg...

Bunyi bel sekolah menghentikan gerakan Nath. Kini tangannya menggantung di udara layaknya jembatan layang.

"Karena jam istirahat sekolah ini dan sekolahmu sama, belnya berbunyi secara bersamaan." jelas Mel sambil menurunkan lengan Nath.

"Aku tahu... " Nath sedikit memayunkan bibirnya. Lalu tersenyum jahil setelahnya.

"Untuk masalah yang tadi, kita jalani dulu.. Ya?" ucap Mel. Nath mengusap rambut Mel sambil menganggukkan kepalanya pelan.

"Iya."

Mel berjalan menjauhi Nath setelah melambaikan tangannya. Nath tersenyum manis membalas lambaian Mel.

Sifat Nath yang peduli dan berusaha memahami keadaan inilah yang membuat Mel jatuh hati kepadanya. Nath selalu mencari cara untuk membuat Mel nyaman, dan terus berusaha untuk ikut membantu menyelesaikan masalah yang menimpa Mel.

Bagi Mel, Nath adalah penyelamat.

>>Bersambung>>

Melyavaritta Where stories live. Discover now