Dia Abadi berpusat pada jalinan kompleks antara cinta, kehilangan, dan penemuan diri. Berkisah tentang perjalanan antara dua tokoh utama, Indra Gana Abadi dan Alia Zahrantiara; yang mengalami trauma setelah kehilangan sosok berharga di hidupnya. Di...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Biar tahu nama tokoh2, dan alurnya, akan lebih bagus kalau kalian baca Stuck In The Moment dlu baru baca yang ini. Meski beda alur, tp ceritanya tetep saling berhubungan. Hehe
***
Suara pintu berdecit sontak menarik atensi Abadi. Ia menemukan seorang lelaki berambut gondrong yang tengah berjalan ke arahnya. Lelaki itu tersenyum jemawa, lalu menarik kursi di bagian depan sehingga posisi duduk mereka saling berhadapan. Lelaki itu Doni, namanya Doni Damara.
“Kenapa tiba-tiba ngajak ketemu di restoran?”
Tak berniat menjawab, Abadi justru menatap Doni dengan tatapan penuh arti.
Doni yang mengerti, langsung berdecak malas. “Bentar, gue minum dulu.”
Lagi, Abadi tidak memberi respons.
“Seberapa jauh lo mau tahu?” Doni mencomot kentang goreng yang baru saja mendarat di meja. Ia balas tersenyum kepada pramusaji, tak lupa mengucapkan terima kasih setelahnya.
“Semuanya.”
Gerakan tangan Doni yang hendak kembali menyuap kentang mendadak terhenti.
“Cari tahu tempat tinggalnya di mana, tempat kuliah barunya di mana, tempat kerjanya di mana, dan cari tahu dia udah nikah atau belum. Kalau udah, cari tahu kerjaan suaminya apa.”
“Kalau udah nikah, berarti lo harus nyerah.” Doni membuka suara setelah makanan yang ia kunyah sudah tertelan sepenuhnya.
“Kenapa harus?”
“Ya, lo kenapa masih mau ngejar?”
“Karena gue mau.”
“Terus lo mau rebut dia dari lakinya gitu?” Doni langsung berseru murka.
“Nggak boleh?” Abadi menyahut dengan sewot.
Jawaban itu sontak membuat Doni berdecak sinis. “Lo bulol-nya kebangetan tahu nggak.”
“Bulol?”
“Bucin tolol!” Doni berseru emosi. Ia kemudian merogoh ponsel dari saku celana jeans, lalu menunjukkan ponsel yang berisi informasi penting kepada kawannya itu. “Dia kerja di salah satu kafe, di Bali.”
“Kenapa baru ngomong sekarang?” Abadi berujar seraya membaca isi percakapan antara Doni dengan salah satu orang yang dia kenal.
“Ya, kan baru tahu. Itu juga kebetulan si Cio sama Alia kerja di tempat yang sama,” jawab Doni, kemudian meneruskan, “Tuh anak katanya kabur karena gak mau ambil alih salah satu cabang perusahaan bokapnya.”
“Gue ke Bali deh kalau gitu,” putus Abadi, tanpa berpikir panjang.
Hal itu sontak membuat Doni tersedak air minumnya sendiri. Doni sudah menduga kalau Abadi akan menyusul ke sana, tapi ia lebih tidak menyangka lagi bahwa dirinya akan seterkejut itu. Melihat reaksi teman dekatnya, Abadi langsung terkekeh geli.
Pandangan Doni kemudian tertuju pada sebuah beberapa kantong plastik besar yang ada di pinggir meja. Menyadarinya, Doni tersenyum kecil. “Agenda lo hari ini apa aja?”
“Kalau lo?”
“Mau ikut lo dong.” Doni menjawab sambil cengengesan. “Lo mau nengokin anak-anak yang suka nongkrong di pinggir rel kereta itu, kan ya?”
***
“Bocah yang cewek pada cerewet ya.” Doni berujar sambil cengengesan. Pria itu tampak girang. Di sepanjang perjalanan meninggalkan rel kereta itu, Doni tak berhenti menceritakan tentang apa yang ia lalui hari ini.
“Don, kirimin gue nomer si Deva dong. Di gue nomernya ilang.”
Doni manggut-manggut tanpa bertanya lebih lanjut. “Eh, lo jadi ke Bali nggak?”
“Lusa kayaknya. Ada yang harus gue urus dulu.”
“Urusan apa?”
“Mau ngurusin surat resign.”
“Eh, bajingan, serius mau resign? Gue kira cuma bercandaan doang.” Doni berujar sambil menganga tak habis pikir. Berteman lama dengan Abadi, Doni masih saja sering dibuat kaget dengan tindakan impulsif kawannya itu.
“Gue tadinya disuruh ambil jobdesk baru di Yayasan sama nyokap, tapi kayaknya nanti dulu deh.”
“Lah, gimana sih.”
“Gue mau ketemu Alia dulu,” katanya enteng. Tangan kirinya mulai membelokkan setir ke kanan sehingga mobilnya memasuki salah satu kawasan apartemen.
Doni menoleh pada temannya, lalu geleng-geleng kepala sambil berdecak. Abadi dengan isi kepalanya tentang Alia memang tak bisa dipisahkan, sejak dulu. Dia masih tidak mengerti mengapa Abadi bisa mencintai Alia dengan sebegitu berlebihannya. Tapi memang, segala sesuatu selalu tidak butuh alasan, bukan?
“Gue pikir, empat tahun cukup untuk ngebuat lo lupa sama dia,” gumam Doni, tapi Abadi masih bisa mendengarnya dengan jelas.
“Gue pikir, lo juga udah ngerti setelah tahu apa yang gue alami tanpa Alia di hidup gue.”
Tanggapan Abadi terhadap kalimatnya cukup membuat Doni tertohok seketika. Temannya itu benar. Doni memang tidak begitu mengerti, meski dia sudah melihat dengan jelas betapa sengsaranya Abadi tanpa Alia.
Yang Doni pahami, Abadi terlalu mencintai Alia.
“Lo terlalu berlebihan mencintai Alia, Bad.”
“Gue tahu.” Abadi mengangguk setuju. Ia juga sadar akan hal tersebut.
Ia memang terlalu mencintai Alia sampai merasa sekarat.
***
Cerita ini latarnya setelah Abadi-Alia lulus SMA, (4 tahun kemudian). Karena suatu alasan, mereka pisah. Dan selama perpisahan itu, Abadi tetep nyari jejak Alia. Yang udah baca Stuck In The Moment pasti tahu betapa bucinnya dia ke Alia wkkw.