Dia Abadi berpusat pada jalinan kompleks antara cinta, kehilangan, dan penemuan diri. Berkisah tentang perjalanan antara dua tokoh utama, Indra Gana Abadi dan Alia Zahrantiara; yang mengalami trauma setelah kehilangan sosok berharga di hidupnya. Di...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
***
Di antara malam berbintang, Alia melihat ada secercah cahaya di wajah lelaki itu. Dan entah untuk alasan apa, Alia mendadak gugup. Selama kurang lebih empat tahun hidup di Bali, Alia tidak berteman dengan perubahan. Sedangkan, lelaki di sampingnya itu...
“Kamu berubah.”
Abadi menoleh. “Apanya?”
“Aku harap ini cuma perasaan aku aja. Tapi, aku rasa kamu jadi lebih dingin sekarang.”
“Dan lo lebih banyak ngomong sekarang.”
Lagu berhenti dalam waktu tiga menit. Abadi melepas airpods yang terpasang, mengembalikannya kepada si pemilik.
“Jadi, lo tinggal di Bali?”
Alia tak tahu harus menjawab apa selain mengangguk kaku. Perempuan itu memasukkan airpods ke saku hoodie yang dipakainya. “Kamu mau liburan di sini sampai kapan?”
“Sampai lo ikut gue pulang ke Jakarta.” Abadi menjawab asal sambil tertawa pelan.
Lengang sejenak.
“Lo nggak kangen gue, Lia?”
Lagi, lengang.
Abadi mengikuti arah pandang Alia, ikut mengamati apa yang diamati oleh perempuan itu. Pandangan mereka berada di satu titik yang sama, tapi pikirannya justru berkeliaran ke mana-mana. Menabrak cahaya rembulan yang terang, tersangkut pada gemerlap bintang, mengambang tidak jelas di awang-awang.
“Bilang... kalau lo kangen gue, Alia,” lirih Abadi. Suaranya nyaris tidak terdengar, terbawa begitu saja oleh angin malam.
Merasa lebih tenang, Alia mulai memberanikan diri. Ia pandang Abadi dengan senyumnya yang mengembang. “Ya, aku rindu kamu.”
Mata Abadi terpejam, lalu menghela napas lega. Bahu tegangnya perlahan mulai mengendur. Begitu kedua matanya kembali terbuka, ia berujar di antara sisa kewarasannya yang nyaris habis, “Alia, can i hug you?”
***
Setiap pukul setengah enam pagi, Abadi selalu membiasakan diri keluar rumah. Selama tiga puluh menit pertama, ia akan melakukan sesuatu untuk menaikkan suasana hatinya. Entah lari pagi, atau sekadar duduk di ayunan sambil mengamati tanaman di halaman belakang rumahnya. Namun, pada pagi ini, ia memilih untuk lari pagi. Karena di halaman belakang di vila ini tidak ada ayunan atau beragam tanaman yang bisa ia pandangi sesukanya.
“Abadi!”
“Kenapa?” Abadi berjalan menghampiri Alia dengan ekspresi yang sudah dikontrol sedemikian rupa.
Alia tak menjawab. Wanita itu menjatuhkan diri di pinggir jalan, lalu duduk meluruskan kedua kakinya. Ia menghela napas lelah, sesekali mengelap keringat yang berjatuhan. Baru lari beberapa langkah, ia sudah merasa lelah. Sejak dulu, Alia memang payah dalam berlari.
Abadi berdeham, menahan senyum. Pria itu lantas berjongkok di hadapan Alia. Punggung tangannya menyentuh kening perempuan itu, membantunya mengelap keringat. “Capek, ya?”
“Eh, kamu mau lari ke mana? Bareng sama aku yuk, ikut ke pantai.” Tak berniat menjawab pertanyaan lelaki itu, Alia justru mengatakan hal lain.
“Emang ada pantai dekat sini?”
“Ada, tapi masih jauh. Kalau naik motor, lima menit udah sampai. Tapi karena kita jalan kaki, jadi pasti agak lama nyampenya. Nggak apa-apa, kan?” Alia berujar dengan menggebu-gebu.
Abadi tak bisa lagi menahan diri. Pria itu spontan tergelak lepas, membuat Alia keheranan.
“Kok, ketawa?”
Abadi menyentuh pipi Alia, menariknya karena merasa gemas. “Sejak kapan lo jadi gemes?”
Alia mengerjap lucu. Binar matanya begitu polos dan bersinar, membuat Abadi tak mampu berhenti tersenyum. Dari sudut pandangnya, Alia tampak seperti anak kucing menggemaskan.
“Lo berani tanggung jawab kalau gue jatuh cinta sama lo lagi?”
Alia mencebikkan bibirnya sebal. Lagi, membuat Abadi tertawa lepas. Selang beberapa saat, ia mengernyit. “Eh, tunggu, gue baru ngeuh, kenapa lo ngomongnya aku kamu?”
“Aku udah biasa begitu.”
“Tapi kan, gue jadi baper,” ujar Abadi diiringi tawa hambar untuk menutupi perasaannya yang tak karuan. Abadi tahu, ia berlebihan. Karena memang, segala sesuatu yang menyangkut tentang Alia, selalu membuatnya terlihat berlebihan.
Mengabaikan perkataan lelaki itu, Alia segera berdiri, mengulurkan tangan pada Abadi. Baginya, uluran tangan tersebut hanya sekadar tumpuan untuk menarik Abadi agar lelaki itu segera berdiri mengikutinya.
Sedang bagi Abadi, tangan itu seolah memberi isyarat untuk digenggam lebih erat. Dan dimulai hari ini, Abadi memutuskan untuk menahan Alia agar kembali pada jangkauannya. Ia akan menggenggam erat tangan itu tanpa membiarkan perempuan itu lari darinya, lagi.
Sebab, ia tidak bisa kehilangan Alia lagi.
Ia sudah telanjur mencandui kehadiran perempuan itu.