***
Abadi menyentuh gagang pintu balkon, kemudian mendorongnya hingga pintu tersebut terbuka. Ia berdiri di sana, menikmati embusan angin begitu terasa kencang. Menyadari ada suara langkah kaki yang mendekat, ia menghela napas berat.
“Ada yang mau lo omongin ke gue? Kalau ada, langsung aja.”
“Bad,” panggil Alia dengan tegas, “kok ngomongnya lo gue lagi?”
“Mood gue lagi berantakan.”
Alia maju satu langkah mendekat. Ia menempelkan punggung tangannya pada dahi lelaki itu yang langsung ditepis perlahan oleh Abadi. “Kamu lagi nggak enak badan, ya?”
“Gue baik-baik aja, Lia.”
“Nggak, Bad, kayaknya kamu demam lagi.”
Abadi mengusap wajah dengan satu tangan, kemudian mengangguk. “Gue emang demam semalem, tapi gue udah nggak apa-apa. Lo mau ngomong apa tadi? Langsung to the point aja.”
“Bad, panasnya harus diturunin dulu. Sebentar deh, aku ambil—”
“Gue nggak apa-apa, Lia!”
Alia sampai berjengit kaget mendengar bentakan itu.
Abadi mengerjap, kaget sendiri dengan tindakannya barusan. Ia mendekat, meraih lengan Alia, tapi perempuan itu langsung menepisnya dengan kasar. “Alia, aku minta maaf.”
Namun, Alia tidak merespons.
“Alia, jangan gini. Tolong bicara sesuatu.”
“Kayaknya pagi ini aku nggak punya banyak energi untuk menghadapi sikap kamu yang nggak jelas.” Usai mengatakan kalimat itu dengan ekspresi dingin, Alia langsung melengos pergi.
“Alia, kita belum selesai bicara.” Abadi mengejarnya. Namun, lagi, ia tak mendapat respons baik dari Alia.
Menyerah.
“Kalau lo keluar sekarang, gue nggak akan pernah datang lagi ke lo!”
Abadi memandang punggung Alia yang kian menjauh hingga menghilang dari pintu dengan sorot tak terbaca. Lagi, ia merasa betapa menyedihkannya situasi ini.
Alia meninggalkannya, perempuan itu bahkan tidak memberikan Abadi kesempatan untuk menjelaskan.
Alia selalu begitu. Tidak di masa lalu, di masa kini, Alia selalu berhasil memorak-porandakan perasaannya. Perempuan itu bahaya, dan menyesatkan. Dia selalu berhasil membuatnya terombang-ambing dalam kehancuran yang menyenangkan.
Mungkin itulah alasan mengapa ada pepatah bilang: cintailah seseorang secukupnya.
Sialnya, Abadi tidak bisa. Dan mungkin, ini adalah harga yang harus dibayar ketika dirinya sudah berani mencintai perempuan itu.
Bersambung
Yang udah baca, komen, dan bantu vote di sini, terima kasih. Di mana pun kalian berada, semoga sehat selalu.
Oh, iya, bantu absen dong.. Kalian ketemu cerita ini dari mana?

YOU ARE READING
Dia Abadi [Terbit]
RomanceDia Abadi berpusat pada jalinan kompleks antara cinta, kehilangan, dan penemuan diri. Berkisah tentang perjalanan antara dua tokoh utama, Indra Gana Abadi dan Alia Zahrantiara; yang mengalami trauma setelah kehilangan sosok berharga di hidupnya. Di...