17. langit mendung

225 40 1
                                        

***

Lelaki itu sungguh membuktikan perkataannya. Selama tiga hari ini, tidak ada Abadi yang datang ke kafe hanya untuk mengganggu Alia. Dan sekarang, Alia bak orang bodoh yang mengharapkan kedatangan lelaki itu. Dari balik dinding kaca kafe, Alia dapat melihat dengan jelas langit siang ini begitu cerah. Bertolak belakang dengan perasaannya yang mendadak mendung. Menyebalkan sekali.

“Cio!”

“Woi, bro.”

Alia melihat interaksi Doni dengan Cio, rekan kerjanya. Entah apa yang mereka bicarakan di luar sana, tampaknya mereka sangat akrab.

Yasa dan Doni sering datang berkali-kali ke tempatnya bekerja, tapi tidak dengan Abadi. Lelaki itu benar-benar tidak menemuinya. Alia ingin menanyakan kabarnya pada Yasa dan Doni, tapi urung setiap kali teringat akan sesuatu. Dialah yang mengambil keputusan untuk keluar kamar pada pagi itu, padahal, tidak ada salahnya Alia berdiri di samping Abadi, menemaninya sampai suasana hati lelaki itu kembali membaik.

Bertolak belakang dengan Alia yang murung, Abadi justru tampak biasa saja. Keberadaan Yasa dan Doni mampu membuat lelaki itu merasa lebih baik. Ditambah, ia kedatangan tamu lain.

Selly.

Perempuan itu datang ke Bali setelah mendengar alasan dusta mengapa Abadi memilih Bali sebagai tempat liburan. Dan kini, sudah terhitung dua hari berlalu sejak kedatangan Selly di vila.

“Sel?”

Selly menengok dan mendapati Abadi yang berdiri di undakan tangga. “Ya?”

***

Alia menunduk menatap jinjingan di tangannya. Begitu pintu gerbang terbuka, ia mendapati seorang pria berperawakan tinggi sedang memegang slang air. Di belakangnya, ada wanita paruh baya yang sedang menyapu lantai. Selesai berbicara dengan mereka, Alia dipersilakan masuk.

Alia mengetuk pintu di antara rasa gugup yang menyelimutinya. Satu kali diketuk, tidak ada jawaban. Begitu tiga kali diketuk, pintu berhasil terbuka. Ia menunduk, meremas tali jinjingan sambil berusaha menguasai diri.

“Maaf, cari siapa, ya?”

Kenapa suara perempuan? Kenapa bukan suara Yasa atau Doni yang terdengar? Memberanikan diri, Alia mengangkat kepala. Ia lantas bertemu tatap dengan seorang perempuan yang menatapnya penuh tanya.

Jujur, Alia tidak tahu siapa perempuan itu.

“Cari siapa?”

Alia menelan ludah, berusaha bersikap tenang.

“Siapa, Sel?!”

Mendengar suara teriakan Doni, Selly menengok dengan ekspresi jengkel. “Nanti dulu coba.”

“Kok kamu bisa masuk? Emang penjaga vila di sini suka kasih izin orang masuk sembarangan?”

“Gini, aku mau titip ini buat Badi.” Alia menyodorkan jinjingan pada Selly. Namun, Selly belum kunjung menerimanya. Ia bergeming, menatap pemberian Alia dengan ekspresi tak terbaca.

“Kalau kamu sampai berani masuk dan kasih beginian, berarti kalian udah saling kenal?” Selly melangkah maju, menarik pintu hingga tertutup sepenuhnya.

“Ya, kita memang saling kenal.”

Satu tangan Selly bergerak, menarik jinjingan itu untuk mempersingkat waktu interaksinya dengan perempuan itu. “Ini apa?”

“Itu, makanan. Bilang aja dari Alia. Maaf mengganggu waktu kamu.”

Setelah diperhatikan dengan lekat, Selly merasa wajah perempuan itu terlihat tidak asing. Namun, entahlah, seberapa kerasnya Selly mengingat, ia tetap tidak mengenal perempuan itu.  “Kita pernah ketemu belum, ya?”

“Huh, maaf?” Alia merespons dengan ekspresi bingung. “Oh, kalau itu saya kurang yakin.”

Selly lantas manggut-manggut. “Udah, kan? Kalau udah, saya masuk,” tandasnya yang langsung masuk, dan menutup pintu tanpa mempedulikan Alia yang masih bergeming di sana.

“Siapa yang datang, Sel?”



bersambung...

A/n ;

Abadi agak labil ya genks. Tapi nggak apa2, yang penting dia gak berengsek aja wkkw.

Dia Abadi [Terbit]Where stories live. Discover now