Dia Abadi berpusat pada jalinan kompleks antara cinta, kehilangan, dan penemuan diri. Berkisah tentang perjalanan antara dua tokoh utama, Indra Gana Abadi dan Alia Zahrantiara; yang mengalami trauma setelah kehilangan sosok berharga di hidupnya. Di...
اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.
***
“Kuliah lo gimana?”
Mungkin pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi entah mengapa Alia merasa sesak di dadanya kembali mencuat ke permukaan. Pertanyaan tersebut seolah mengantarkan Alia pada ruang ingatan, hingga membuatnya kembali mempertanyakan satu hal; apakah selama ini ia sudah mengambil keputusan yang benar?
Silakan, tapi jangan harap saya mau lihat kamu lagi!
“Lia?”
Lamunan Alia seketika buyar. Perempuan itu mengerjap kaget, lalu tersenyum gamang. “Aku nggak kuliah.”
“Lho? Gue kira, lo ngelanjutin kuliah di sini.”
“Karena pergi ke Bali, jadi, ya aku harus berhenti.”
“Berhenti kuliah karena ke Bali, atau sengaja pergi ke Bali karena lo lari dari sesuatu?” terka Abadi dengan alis terangkat satu. Dia tidak tahu apa yang membuat perempuan itu menghilang tanpa jejak darinya. Selama kurang lebih empat tahun, Abadi sibuk menerka sendiri.
Alia tak menjawab apa pun.
“Lia, kenapa lo ada di sini?”
“Aku cuma spontan aja datang ke sini, karena penasaran sama rumah tanteku,” elak Alia. Abadi tahu, perempuan itu sedang berusaha menghindari pertanyaannya.
Tidak ada lagi yang mereka bicarakan setelahnya.
“Doni sama Yasa kabarnya gimana? Baru sadar, aku udah lama nggak lihat mereka. Terus, itu Yasa udah pulang belum?”
“Ya, nggak usahlah.”
“Apanya?”
“Nggak usah lihat mereka. Soalnya gak ada yang berubah dari mereka selain gobloknya yang makin hari makin nambah.” Abadi berkata dengan nada serta ekspresi jengkel. Bisa-bisanya Alia malah menanyakan kabar dua celurut itu. Padahal, dia yang sedang rindu.
Derai tawa Alia mengudara, sehingga tawanya menyatu dengan suara riak air laut.
“Gue yang nyari lo. Tapi kenapa lo malah nanyain mereka?”
Alia mengerjap lambat, mencoba mencerna perkataan yang keluar dari mulut lelaki itu. “Bad, kamu nyari aku?”
Sadar apa yang dikatakannya, Abadi menggeleng canggung. “Huh? Nggak, kok.”
“Aku serius.”
“Nggak, Lia,” katanya penuh penyangkalan.
Alia tahu, lelaki itu berbohong. “Bad, aku lagi serius lho ini.”
Lalu hening.
“Iya, terus kenapa?” aku Abadi pada akhirnya. Ia tatap Alia dengan sorot sendu. “Kalau udah tahu, lo mau apa sekarang?”
Alia membisu.
“Gue datang ke rumah lo, tapi nyokap lo bahkan nggak mau ngasih tahu apa pun. Gue juga nanya ke temen-temen kampus lo, dan mereka bilang, nomer lo udah nggak aktif. Lo juga ngehapus semua akun sosmed lo...”
Alia menundukkan kepala, merasa bersalah. Ia tidak pernah mengira bahwa pelariannya justru membuat Abadi kembali menunggu. Lagi-lagi, ia membuat lelaki itu menunggu.
Tanpa sadar, kedua tangan Abadi mengepal dibalik saku jaket. “Alia, gue nggak tahu apa yang lo hadapi setelah hari itu. Dan gue juga nggak ngerti kenapa lo nggak pernah berubah. Lo selalu membuat gue merasa nggak ada apa-apanya di hidup lo.”
“Aku minta maaf...”
“Dengar, Lia, permintaan maaf lo nggak akan merubah apa pun.”
“Aku nggak tahu kalau kamu bakal nyari aku.”
Abadi melengos, mendahului Alia tanpa berniat merespons perempuan itu. Dan Alia dengan sigap mengejar langkah lelaki itu.
“Bad, aku harus gimana?”
“Lo harus tanggung jawab. Sebagai gantinya, lo nggak boleh hilang lagi dari gue.”
Benar, begitu.
Alia harus bertanggung jawab. Alia harus menebus waktunya yang terlewati begitu saja tanpa kehadirannya.
“Kalau aku hilang lagi?”
Hening.
“Lo emang begitu, ya? Selalu ingin lari dari gue.” Abadi berujar sembari menatap Alia dengan wajah dingin.
Tanpa Abadi tahu, Alia sibuk bertempur dengan pikiran dan asa. Ada sebuah rasa yang tak bisa dia ekspresikan. Sedih, frustrasi tercampur jadi satu. Ia bahkan tak tahu bagaimana cara mendeskripsikan masing-masing dari perasaan tersebut. Yang jelas, saat Abadi melangkah jauh pun, Alia masih membisu di tempat.