06. sepasang kaki yang terluka

397 47 10
                                        

***

Dahulu, di usianya yang ke-19 tahun, Alia melangkah gembira menuju gerbang mimpi. Namun, di tengah jalan, Alia memilih mundur membawa rasa pedih yang tak tertahankan. Seiring waktu berjalan, Alia berhasil bangkit, dan kembali berdiri dengan sepasang kaki yang sudah terluka. Namun, tak apa, luka di kaki masih bisa dia sembuhkan pelan-pelan.

Di tengah keyakinan itu, Alia kembali dikejutkan bahwa luka di telapak kakinya memiliki bekas. Dan bekas itulah yang Alia bawa sampai saat ini. Tidak ada yang tahu sedalam apa luka itu. Tidak ada yang tahu seberapa tersiksanya Alia saat berusaha bangkit dengan sepasang kaki yang terluka.

“Jadi, ya begitu, aku berhenti kuliah karena ... belum siap.” Di tengah kalimat yang penuh dusta, Alia mengakhiri ceritanya.

“Suatu saat, kalau udah siap, lo bisa mulai lagi dari awal.”

“Tapi Abadi, aku nggak salah, kan?”

“Gue nggak bisa jawab. Karena cuma lo yang tahu benar atau salahnya. Tapi gue percaya, lo nggak nyerah sama mimpi lo. Lo ... cuma butuh jeda.” Abadi mengusap puncak kepala Alia dengan hati-hati. Seolah, rambut Alia adalah hal berharga yang tidak boleh disentuh dengan kasar. Segala hal yang berhubungan dengan Alia memang berharga.

Dan Abadi ingin terus menghargai Alia-nya sampai kapan pun.

“Mau langsung pulang, nggak?” tanya Abadi kemudian.

“Jam berapa sekarang?”

Abadi melirik jam tangan di pergelangan kirinya. “Jam tujuh lewat lima belas.”

Alia spontan berdiri dari tempat duduk. “Astaga, aku harus kerja hari ini, jam delapan!” tegasnya memberitahu.

“Sebentar, gue bayar dulu.” Abadi langsung beranjak, pergi membayar, sebelum akhirnya mereka meninggalkan warung tersebut.

***

“Kamu tuh, bisa nggak sih jangan ganggu dulu?!” protes Alia tak habis pikir. Perempuan itu memandang lelaki yang tengah duduk santai dengan ekspresi berang. Pandangannya lantas beralih pada makanan yang tersedia di meja. Penuh, bahkan belum tersentuh sama sekali. “Itu makanannya diabisin dulu, baru boleh pesan lagi. Dan tolong berhenti, jangan pencet bel terus!”

Abadi menggeleng polos. “Nggak mau.”

“Terus kamu maunya apa?!” Alia menghela napas jengah. Ia sedang sibuk dengan pekerjaan, tapi Abadi terus mengganggunya dengan alasan ingin kembali memesan.

“Maunya makan ditemenin sama lo.”

“Nanti aku temani kalau udah nggak sibuk.” Usai mengatakan itu, Alia melangkah pergi ke meja kitchen.

Abadi melirik makanan dengan pandangan tak selera. Berulang kali menghela napas karena bosan. Satu menit. Belum ada reaksi apa pun dari Abadi selain terdiam dengan ekspresi loyo.

“Kamu bisa hati-hati nggak, sih?”

“Maaf, maaf, saya nggak sengaja.”

“Hei, itu bantuin Alia!” suruh Cio kepada Elsa yang sedang ada di dekatnya.

Dengan sigap, Elsa datang membantu Alia memunguti pecahan gelas. “Kenapa?”

“Aku jatuh nginjek tali sepatu,” jawab Alia meringis kecil.

“Tolong dong, ini sepatu saya dibersihin. Basah nih.” Perempuan itu berkata, membuat mereka mendongak. Elsa hendak berdiri, tapi Alia segera menahan.

“Biar aku aja. Kamu balik lagi ke tempatmu. Makasih ya, El.”

“Kalau gitu, pecahan ini biar aku yang urus,” kata Elsa, dan Alia membalas dengan anggukan. Setelah lantainya bersih, Elsa langsung beranjak pergi membawa nampan berisi pecahan kaca, lalu membuangnya ke tempat sampah yang terpisah.

Abadi menengok ke sekeliling. Ia mendapati Alia yang tengah membersihkan sepatu milik seorang perempuan. Namun, bukan itu yang memancing rasa kesalnya. Abadi beranjak. Dengan penuh emosi, ia tarik lengan Alia hingga perempuan itu berdiri dengan ekspresi kaget.




***

bersambung...

Dia Abadi [Terbit]Where stories live. Discover now