***
“Lo kenapa deh ngomel-ngomel nggak jelas?” tanya Abadi begitu mendapati Alia yang terus menggerutu sejak duduk di kursi. Sebisa mungkin, Abadi menahan diri untuk tidak tertawa.“Kamu tuh bikin orang lain jadi merasa bersalah. Dia sampai minta maaf berulang kali lho ke aku.”
“Ya nggak apa-apa. Itu artinya, dia introspeksi diri,” sahut Abadi enteng. Tak mempedulikan Alia yang terus menggerutu. Ia santai saja, lanjut makan.
“Kalau dia—”
“Jangan jadi orang nggak enakan, Lia,” sela Abadi di antara kunyahan yang belum tertelan. “Kalau ada yang salah, tegur. Kalau nggak ditegur, mereka mungkin nggak akan tahu letak salahnya di mana.”
“Tapi mereka pelanggan di sini. Kamu tahu kan, pembeli adalah raja.”
“Pelanggan dan karyawan sama-sama manusia. Nggak perlu ada istilah pelanggan atau pembeli adalah raja. Kalau mindset semua karyawan begitu, akan makin banyak pelanggan yang semena-semena karena mereka merasa diagung-agungkan. Akhirnya, saat mereka salah, mereka mungkin nggak akan merasa bersalah. Karena nggak ada yang beri tahu di mana letak kesalahannya.”
Alia bungkam di tempatnya. Ia mengamati Abadi yang sedang makan sambil berpetuah panjang.
“Makanya, penting untuk menegur orang yang salah dalam bertindak. Perihal akan tersinggung atau nggak, ya, itu bukan urusan kita. Kita nggak bertanggung jawab atas ketersinggungan mereka,” lanjut Abadi.
“Ah, begitu, ya...” Alia manggut-manggut seperti orang bodoh.
Abadi meletakkan sendok di pinggir piring yang masih tersisa makanan. Ia lantas memandang Alia dengan sorot matanya yang lembut. “Lia, kita ini hidup bermasyarakat. Kalau kita mengikuti ego masing-masing, dunia akan kacau setiap waktu. Itu sebabnya, kita semua meredam ego dengan tata krama, etika, dan kompromi.”
Dan Alia tidak mampu berkata-kata, selain mengangguk patuh seperti anak kecil.
Abadi tersenyum. Tangan kirinya bergerak, menyentuh bagian poni Alia dan mengacaknya dengan gerakan pelan.Alia menahan senyum karena salah tingkah. Pipinya bersemu merah mirip seperti buah persik. Astaga, dia baru saja bertingkah seperti remaja labil yang baru mengenal cinta. Maka demi menyembunyikan perasaan gugup, Alia berdeham canggung lalu berkata, “makannya diabisin.”
“Nggak deh, udah kenyang.”
“Lho, itu kamu makan sepiring aja nggak abis.”
“Iya, soalnya ada lo.”
“Apa hubungannya?” Alia bertanya, menatap pria itu dengan satu alis terangkat.
“Lihat lo aja bikin gue kenyang. Kenyang banget sampai perut gue mau meletus.”
“Oh, ya? Berarti omongan cantik doang nggak bikin kenyang itu bohong ya?” Alia berujar sambil terkekeh mengejek.
Tapi Abadi tidak meresponsnya. Lelaki itu menopang dagu, menatap Alia dengan pandangan intens tak berkedip. Mengamati Alia rasanya selalu menyenangkan. Mengamati bagaimana cara perempuan itu tersenyum, tertawa, mengomel, lalu berbicara dengan penuh ekspresif.
Abadi kecanduan. Ia bahkan sudah tak mampu lagi mengalihkan pandangan dari perempuan itu. Abadi pikir, Tuhan pasti bangga karena telah memamerkan mahakarya-Nya.
Dan Alia adalah sebaik-baiknya mahakarya Tuhan.
Kau hanya tersenyum, aku terpikat.
Kau hanya berkedip, aku terpesona.
Saat kau bicara, aku tak kuasa, mendengar suaramu.
Lagu yang terdengar mengalun indah di dalam ruangan kafe, seolah mendukung pemikiran Abadi tentang seorang perempuan yang dicintainya. Atau mungkin, semesta memang setuju dengan pemikirannya sejak awal.
***
bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Abadi [Terbit]
RomanceDia Abadi berpusat pada jalinan kompleks antara cinta, kehilangan, dan penemuan diri. Berkisah tentang perjalanan antara dua tokoh utama, Indra Gana Abadi dan Alia Zahrantiara; yang mengalami trauma setelah kehilangan sosok berharga di hidupnya. Di...