18. jakarta

214 38 2
                                        

***

“Apa yang dibuang?”

Selly tampak terkejut mendengar suara bariton itu. “Astaga, kamu bikin kaget aja. Ngapain sih?”

Abadi mengambil air dari lemari es, meminumnya di saat itu juga. “Itu apa yang dibuang?”

“Nggak, bukan apa-apa. Sayuran sisa itu, tapi udah basi.” Selly menjawab sambil melempar rantang stainless ke wastafel pencuci piring.

Abadi sampai terkejut mendengar bunyi nyaring itu.

“Kaget, ya?” Selly meringis tak enak hati. “Besok kita jadi pulang ke Jakarta, kan?”

Abadi mengangguk sebagai respons.

Benar.

Besok ia harus kembali ke Jakarta.

***

Jakarta, 2022.

Abadi meraih ponselnya di meja nakas. Tidak ada pesan ataupun panggilan di sana. Menarik napas dalam, Abadi menekan salah satu kontak, berniat mengirim pesan pada seseorang.

Ia mengetik, lalu bergeming ragu. Lanjut mengetik, tapi selang beberapa detik langsung menghapusnya. Abadi mengetik, dan menghapusnya sampai berulang kali. Pada akhirnya, Abadi memilih untuk tidak melakukan apa-apa.

Mengabaikan rasa kalutnya, Abadi keluar kamar. Di ruang tengah, televisi masih menampilkan tayangan kartun Upin Ipin kesukaan Bea— adiknya. Sementara di dapur, Mamanya tampak sibuk menata peralatan masak yang baru selesai dicuci.

Abadi mengambil jus naga yang sudah disiapkan oleh Mamanya di dalam lemari es.

“Lho, udah beres mandinya?”

Abadi menoleh pada Mamanya, lalu mengangguk.

“Mau makan sekarang nggak?”

“Nanti aja.”

Abadi duduk di kursi stool. Meneguk jus naga sembari memperhatikan gerak-gerik Mamanya. Beberapa saat kemudian, terdengar derap langkah kaki yang mendekat. Tanpa menoleh pun, Abadi tahu siapa pemilik langkah itu.

“Kamu nggak olahraga hari ini?”

Abadi tidak menjawab. Pemuda itu justru terlihat sibuk memainkan ponsel, membuat Baskara menghela napas lelah. Lagi pula, apa yang ia harapkan dari anak ini?

“Biarin aja, anaknya lagi capek itu baru pulang dari Bali,” ujar Ditha, berusaha menengahi. “Oh iya, Mas, di kulkas ada jus naga.”

Sayangnya, Baskara tidak mengindahkan. Ia tatap sang putra dengan wajah datar. “Kenapa lama-lama di Bali? Ada urusan apa di sana?”

“Urusanku bukan lagi urusan Ayah.”

Satu tangan kanan Baskara spontan terkepal kuat. “Abadi, kalau bicara tolong tatap mata Ayah.”

“Aku nggak punya waktu untuk ngomong sama Ayah,” balas Abadi dengan nada serta ekspresi datar.

“Responsmu selalu aja begitu. Selalu acuh tak acuh setiap kali Ayah ajak bicara. Sebegitu bencinya kamu ke Ayah?”

Hening.

Ditha tertegun seraya mengamati kedua orang itu secara bergantian. Logikanya memberi perintah untuk segera melerai, tapi tubuhnya justru tidak bergerak sama sekali.

“Ayah yang ngajarin aku.” Abadi memasukkan ponsel ke saku celana, lalu berdiri. Kini, pandangannya mulai menghunus tajam pada Baskara. “Ayah yang ngajarin aku, kalau acuh tak acuh tuh ... nggak masalah.”

“Itu yang selalu jadi titik balik buat kamu? Apa pun yang Ayah lakukan, seberapa keras usaha Ayah untuk memperbaiki, kamu selalu melihat ke belakang dan menjadikan kesalahan Ayah di masa itu sebagai—”

“Kalau begitu, Ayah nggak perlu berusaha memperbaiki apa pun,” potong Abadi di antara auranya yang kian dingin, “karena aku nggak tertarik melihat usaha Ayah.”




bersambung...

Dia Abadi [Terbit]Where stories live. Discover now