15. dingin

238 39 0
                                        

Abadi mengerjap perlahan. Lagi-lagi, suara nyaring yang berasal dari jam weker mampu membuatnya terbangun dari mimpi panjang. Ia lantas beranjak dari tempat tidur, membuka gorden dengan lebar, membuat cahaya pagi menyelinap masuk hingga merambat ke penjuru ruangan. Satu tangan kirinya menyentuh knop, membuka pintu balkon sampai terbuka sepenuhnya.

Abadi berdiri di depan pagar pembatas sambil meregangkan otot. Pagi ini langit di Canggu begitu cerah, berbanding terbalik dengan isi kepalanya yang berkabut karena ada banyak hal yang tertinggal di sana.

“Gue dulu.”

“Gue dulu anjir. Orang gue yang masuk duluan.”

“Ini koper lo kenapa berat dah, sialan?!”

“Ya, kan gue bawa baju.”

“Ya, kenapa bisa seberat ini bahlul?!”

“Gue bawa bom.”

“Dasar sinting. Ini bantuin gue lah, sial. Pinggang gue encok nih!”

Mendengar suara ricuh di bawah sana, Abadi mengernyit. Omong-omong pukul berapa ini? Abadi masuk, mencari-cari ponselnya. Begitu benda itu ditemukan, Abadi tak menemukan apa pun. Tidak ada pesan atau pun panggilan. Di layar ponsel, jam sudah menunjuk pada angka delapan lewat dua puluh menit.

“Bad!”

“Bad, helo selamat pagi. Anda kedatangan tamu istimewa nih.”

“Ke mana tuh anak? Tadi kata penjaganya, dia ada di dalem kan?” Doni celingak-celinguk mencari keberadaan makhluk abstrak itu.

Yasa menaruh dua koper beserta satu tas ransel di pinggir televisi. Setelahnya ia langsung menjatuhkan tubuh di atas sofa sambil memperlihatkan wajah lelahnya.

“Kalau dipikir-pikir, ngapain juga ya gue nyusul ke sini?” Yasa mendadak heran dengan keputusannya sendiri.

“Karena lo kangen si Badi.” Doni yang sedang rebahan di sebelahnya langsung menyahut asal.

“Nggak lah, gila.”

“Gue pikir, lo bakal lupa daratan sama kita. Dengan lingkungan yang jauh lebih luas, lo pasti dengan mudah bisa menemukan temen yang lebih asik, kan?”

Hening.

“Memang iya, gue udah menemukan temen yang jauh lebih asik,” ujar Yasa terlihat serius. “Tapi untuk seumur hidup kayaknya gue cuma butuh lo sama Badi. Ini tuh bukan soal lebih asik atau nggak, tapi soal cocok atau nggak.”

Doni membulatkan bibirnya, lalu mengangguk mengerti. “Berarti kita bertiga cocok, ya?”

Yasa mengangguk enteng. “Mmm, sama-sama bodoh.”

***

“Yasa, kamu apa kabar?”

“Alia, ya?” Yasa mengamati penampilan perempuan itu dari atas sampai bawah.

Alia mengangguk canggung. “Omong-omong, kamu kapan datang?”

“Baru datang kok beberapa menit yang lalu. Eh, masuk dulu, Lia.” Yasa bergeser, memberi ruang pada Alia dan mempersilakannya masuk.

Meski sedikit ragu, langkah Alia terayun melewati pintu. Ia melangkah menuju tempat duduk, diikuti oleh Yasa. Di sofa, Alia melihat Doni tengah tertidur pulas dengan mulut terbuka. Menyadari sesuatu, Yasa langsung mengambil setumpuk tisu di meja, kemudian menyumpal bibir Doni dengan penuh emosi.

“Badi belum keluar kamar, Yas?” Alia bertanya dengan pandangan lurus ke arah tangga.

“Dia lagi mandi kayaknya,” balas Yasa, “oh, iya, tadi gue bawa makanan.”

Alia mengamati Yasa yang sedang mengubrak-abrik koper cokelatnya, sampai kemudian terdengar suara entakan antara kaki dan permukaan lantai. Makin lama, makin mendekat, suaranya terdengar jelas. Alia dan Yasa menoleh ke belakang, mendapati Abadi yang berjalan ke arah mereka sembari menggosok rambut basahnya menggunakan handuk kecil.

Alia dan Abadi beradu pandang selama beberapa saat. Namun, pria itu lebih dulu memutus kontak mereka. Abadi menghampiri Yasa, menendang koper cokelat itu dengan satu kakinya.

“Bawa ke kamar sebelah.”

“Kamar sebelah mana?”

“Lantai atas ada kamar kosong.” Abadi melirik pada Alia setelahnya. “Kita punya urusan?”

Alia mengerjap bingung. Bingung mendengar pertanyaan yang keluar dari lelaki itu, serta bingung mengapa Abadi terlihat begitu dingin pada pagi ini.

“Kita butuh bicara, kan? Ayo ke atas.”






bersambung...

Dia Abadi [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang