22. dua puluh empat jam

231 33 3
                                        

***

Alia berdiri di ambang pintu kamar, mengamati sosok lelaki di balkon sana terlihat sedang menikmati semilir angin pagi. Menyadari dirinya sedang diperhatikan, lelaki itu menengok sehingga tatapan mereka saling bertemu.

“Ngapain pagi-pagi ke sini?”

“Bawain sarapan buat kamu.” Alia memperlihatkan plastik putih berisi bubur yang masih hangat. “Yuk, sarapan dulu.” Alia menarik pergelangan tangan Abadi dan membawanya duduk di kursi rotan.

“Beli bubur di mana?”

“Ada di seberang rumah tanteku.”

“Bukannya ruko itu tutup ya?”

“Sekarang udah buka lagi. Beberapa minggu kemarin penjualnya libur dulu.”

Abadi manggut-manggut saja. Di tengah aksi Alia yang sedang membuka isi plastik, Abadi memperhatikan penampilan perempuan itu. Rambut panjangnya dicepol tinggi dengan asal, hoodie kuning cetar yang menempel pada tubuh mungil Alia sangatlah tidak cocok dengan celana training berwarna cokelat. Benar-benar tidak nyambung. Meski begitu, Abadi bahkan tak mampu menolak pesona Alia-nya.

“Ini makan.”

Abadi menerimanya dengan senang hati. “Hari ini, kamu nggak kerja?” Abadi bertanya di antara kunyahannya yang belum tertelan.

Alia menggeleng. “Nggak, aku punya banyak waktu sekarang.”

“Aku juga,” kata lelaki itu tersenyum salah tingkah, “kamu boleh ambil semua waktuku mulai sekarang. Aku punya dua puluh empat jam buat kamu.”

Abadi tidak berbohong. Ia memang punya banyak waktu untuk perempuan itu, dan akan selalu begitu. Abadi tidak tahu bagaimana cara mencintai dengan benar, selain memberikan semua hal yang dia punya, termasuk seluruh waktunya.

“Geli banget deh denger kamu ngomong gitu.” Alia tergelak di tempat, merasa tak habis pikir dengan lelaki itu. “Oke, jadi, apa yang mau kita lakukan hari ini?”

“Masak?” gumam Abadi tampak ragu.

“Mau masak apa?”

“Kamu suka nasi goreng kan?” tanya Abadi yang dibalas anggukan dari Alia. “Nah, aku dapat resep baru nasi goreng dari Bik Inah. Gimana kalau kita coba?”

“Nanti aja. Bubur kita belum abis lho ini.”

“Ya nggak apa-apa. Nasi gorengnya kan bisa dicampur sama bubur.”

“Ih, menu macam apa itu?!” sahut Alia sewot. Ekspresinya yang julid tampak memancing tawa Abadi.

“Unik itu. Belum pernah coba, kan? Ya udah kita coba sekarang!”





Bersambung..

Dia Abadi [Terbit]Where stories live. Discover now