11. labirin

268 41 6
                                        

***

Pulang dari lari pagi, Abadi lantas mampir ke kafe Satu Hati, dan memilih tempat kosong di area semi-outdoor dengan nomor meja B2. Ia menekan bel di atas meja, berniat memesan. Namun, begitu melihat bukan Alia yang mendatangi mejanya, Abadi langsung berdecak malas.

“Alia mana?”

“Ya, gimana?”

Abadi membuka daftar menu dengan ekspresi tak selera. Bukan makanan yang dia butuhkan, melainkan Alia. Ia perlu energi. Dan tentunya ia harus segera melihat Alia sekarang.

“Saya pesan ini aja, samosa ayam kentang sama sandwich roti.” Abadi menunjuk daftar menu makanan paling depan.

“Baik, minumannya?”

“Jus naga,” putus Abadi tanpa berpikir panjang.

Melihat Alia tepat setelah waitress itu pergi, senyum lelaki itu pun langsung terbit secerah mentari pagi. Namun, tatkala mendapati Alia tersenyum pada orang lain, senyum Abadi luntur.

Ia mengikuti arah pandang perempuan itu, dan menemukan seorang lelaki dengan kemeja biru yang sedang tersenyum pada Alia seraya memperlihatkan salah satu bagian pipinya yang bolong.

Mereka tampak bersenang-senang, dan tertawa setelahnya. Entah apa yang mereka tertawakan, tampaknya situasi lucu spontan membuat keduanya tertawa. Jangan tanya bagaimana perasaan Abadi, tentu saja ia merasakan adanya hawa panas yang menguar dari dalam dadanya.

***

Akash mendapati seorang pemuda berjalan menghampiri meja yang dia tempati. Namun, bukan hanya itu yang sempat menarik perhatian, melainkan sorot mata tanpa penjelasan itulah yang membuat Akash mengerutkan kening.

“Hei!” Alia melambaikan tangan, menyapa Abadi dengan antusias. “Kenalin, ini Angkasa atau bisa kamu panggil Akash. Dan Akash, kenalin dia Abadi, namanya Abadi.” Alia memperkenalkan keduanya satu sama lain secara bergantian.

Akash dapat menangkap adanya binar hidup dari sepasang lensa bening Alia saat perempuan itu memperkenalkan seorang pemuda asing kepadanya. Mengamatinya dengan lekat, Akash tertegun.

“Oh, hai, gue Abadi.”

“Saya Akash. Kamu orang Jakarta, ya?” terkanya begitu mendengar bagaimana cara Abadi berbicara.

Di kursi sebelah Alia, Abadi duduk dengan salah satu kaki menyilang. “Lo orang Jakarta juga?”

“Saya lahir di Jakarta, tapi dibesarkan di Bali oleh Nenek.”

“Kenal sama Alia di mana?” tanya Abadi kemudian, tapi pandangannya memicing penuh curiga pada Alia. Sementara yang dipandanginya itu hanya mengerjap polos, lalu bertingkah tak peduli.

Akash tidak langsung memberi jawaban. Dia menoleh pada Alia, mengamati perempuan itu dalam diam. Kini, ada satu hal yang membuatnya mengerti tanpa perlu bertanya lagi.

Akash memperhatikan kedua orang itu dengan pandangan tak terbaca. Mengikuti arah pandang Alia, ia kemudian ikut memperhatikan keseluruhan penampilan Abadi. Lelaki itu memang terlihat menawan dengan two block haircut-nya, makin menawan saat Akash berhasil menemukan ciri khasnya: dua tahi lalat berukuran kecil pada bagian bawah mata sebelah kiri, dan di bagian tengah ujung hidung.

Dilihat dari sudut mana pun, Akash akui, pemuda di hadapannya ini memang menarik. Bahkan tanpa perlu dibuat-buat.

***

“Temen deket Akash meninggal, makanya dia main ke sini.” Alia membuka suara setibanya di meja nomor B24 semi-outdoor. Ia meletakkan dua piring berisi pesanan yang masih hangat, lalu duduk.

Abadi meletakkan ponsel di meja. Ia tatap Alia dengan pandangannya yang dalam. “Oh, ya? Terus?”

“Seperti yang kamu tahu, artinya Akash lagi berduka.”

“Temennya sakit?”

“Katanya kanker darah. Udah lama sih.”

Tak mengatakan apa pun lagi, Abadi mengamati Alia yang sedang menyuap makanannya dalam diam. Ada yang sedang berisik di kepala Alia, dan Abadi bisa menebak hanya dengan melihat bagaimana cara perempuan itu berekspresi.

Alia terkunci dalam ingatan, terjebak di labirin tanpa cahaya, berkelana di atas pecahan kaca. Ingatan Alia lantas terlempar pada tahun-tahun yang kelam. Lebih tepatnya, tahun di mana ketika ia masih menjadi mahasiswi Kedokteran semester empat.

“Alia, kamu di mana, Nak? Ini tante Tasya. Tante mau kasih kabar kalau Dokter sudah melepas mesin ventilator Tania, baru saja.”

Kemungkinan terburuk itu akhirnya terjadi.

Alia yang pada waktu itu sedang ada kelas, langsung melesat ke rumah sakit. Mengabaikan siapa pun yang terus memanggil namanya.

Ada satu hal yang paling tidak disukai Alia, yaitu menyaksikan kepergian orang-orang di sekitar. Untuk sampai pada tahap penerimaan, serta merelakan dengan lapang dada, jalannya tidak mudah, pun prosesnya teramat melelahkan.

“Alia, you okay?”

Dan pertanyaan itu berhasil menarik Alia yang nyaris tenggelam dalam ingatan buruknya. Ia mengangkat kepala, balas menatap pria yang di hadapannya, lalu tersenyum sebagai jawaban.








bersambung...

Dia Abadi [Terbit]Where stories live. Discover now