Dia Abadi berpusat pada jalinan kompleks antara cinta, kehilangan, dan penemuan diri. Berkisah tentang perjalanan antara dua tokoh utama, Indra Gana Abadi dan Alia Zahrantiara; yang mengalami trauma setelah kehilangan sosok berharga di hidupnya. Di...
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
***
“Abadi!”
Abadi menoleh ketika mendengar seseorang berseru girang tampak memanggil namanya. “Hei, Selly, apa kabar lo?”
Selly— perempuan berambut panjang bergelombang itu mengangguk. “Aku baik, kamu sendiri gimana?”
“Gue sehat sih, Sel, tapi hati gue rapuh.” Sambil menyentuh dada kirinya, Abadi berujar penuh drama, membuat Selly berdecak sinis. Perempuan itu langsung membenarkan letak posisi hati dengan benar.
“Organ hati tuh letaknya di sini!”
Abadi tertawa kecil sebagai respons.
“Omong-omong, kamu kenapa ada di sini?”
“Oh itu, tadi gue abis nganterin surat resign.”
“Resign apa?” Selly mengernyit, tapi begitu paham ke mana maksud pembicaraan lelaki itu, mata Selly langsung membulat. “Oh, jadi kamu kerja di bengkelnya Jere?” tanyanya yang dibalas anggukan oleh Abadi. “Yah, kalau tahu gitu, mungkin aku dari kemarin-kemarin datang ke sini.”
“Lo udah selesai kelas, cil?”
“Bocil-bocil, aku udah gede tauk. Udah dua puluh dua!” Selly berseru sebal karena tak terima dirinya masih dipanggil bocil oleh Kakak tingkatnya yang sudah menjadi alumni itu.
“Di mata gue, lo tetep bocil. Bocil kematian.” Abadi mengejeknya dengan puas.
“Yee, dasar. Kamu nggak berubah deh, masih slengean.”
“Lo juga nggak berubah.”
“Apanya?”
“Ngomongnya masih aku kamu-an. Untung gue nggak baperan.”
Mendengar hal itu, Selly mendadak bungkam.
“Gue balik, ya, dah!”
Tapi gagal. Karena perkataan Selly selanjutnya membuat langkah Abadi terhenti.
“Kamu sibuk nggak sekarang?”
Abadi menoleh, lalu menggeleng yakin.
“Jalan, yuk?” Selly berujar pelan karena takut ada yang mendengar.