Chapter 17 - Bad News is Not Good News

18.4K 1.2K 11
                                    

Ethan terkekeh melihat raut wajahku yang seketika berubah.

"Gak usah pegang-pegang deh!" semburku cepat. Coba meredakan desir-desir halus yang menggantikan kejut listrik tegangan tinggi tadi. 

"Lo modus, ya!"

"Modus gimana, sih? Kan tadi lo lihat sendiri itu motor main nikung sembarangan. Kalau tadi gue nggak ngerem, bisa babak belur itu orang!" sahut Ethan membela diri.

"Lagian, naik motor tuh pegangan yang bener...." Ethan ngakak kenceng banget melihat mulutku mengerucut sebal.

"Mepet dikit napa? Gue kan bukan kang ojek!" cerewet Ethan lagi saat aku membetulkan dudukku. Dia membalik badannya yang tegap dengan lengan kuat itu seraya mencoba menstater motornya.

"You wish!" Aku mencibir dan memukul punggungnya. Ethan terbatuk. Pura-pura.

Perjalanan kemudian dilanjutkan lagi tanpa drama. Ethan mengendarai motornya dengan pelan dan santai. Terlalu santai malah sampai aku geregetan.

"Than, lo kayaknya nggak beli motor mahal gini cuma buat disamain sama bajaj, kan?" seruku di telinganya.

Dia terkekeh lagi.

"Gue takut lo jatuh, kalo gue ngegas kencang-kencang, Mars!" imbuhnya. "Lo kan nggak pegangan ...."

Ah, siaalaaann!

"Oke, gue pe-ga-ngan, nih! Buruaan kebut deh!" Aku mencengkeram jaketnya di bagian pinggang. Tapi memang jaket Ethan ini licin banget. Aku kesulitan. Beberapa kali cengkeramanku terlepas.

Ethan mulai melarikan motornya lebih kencang dari sebelumnya. Bahkan terlalu kencang.

Aku menyerah. Dari pada nanti kenapa-kenapa, aku pun menurut. Walau terpaksa. Memeluk pundaknya.

*****

Tidak sampai setengah jam, kami telah tiba di rumah mama. 

Suasana rumah yang biasanya memang selalu sepi, kali ini terasa lebih mencekam. Entah kenapa. Tapi aku merasa tidak nyaman.

Rumah dua lantai dengan atap tinggi dan cat kusam membuat rumah yang pernah memberi kesan mentereng di lingkungan ini semakin bertambah suram. Pekarangannya yang luas dan dulu pernah ditumbuhi berbagai tanaman bunga-bungaan indah beraneka warna itu pun kering dan menyedihkan. Seolah tahu tangan yang dulu rajin merawatnya sekarang tak lagi punya keinginan bahkan untuk merawat dirinya sendiri. 

Aku menghela napas dalam-dalam. 

Sudah dua minggu ini aku memang tidak pulang ke rumah mama. Terlalu sibuk mengirimkan surat-surat lamaran dan beberapa kali juga menghadiri undangan interview pekerjaan.  Sampai aku hampir menyerah, lalu Ethan merekomendasikan pekerjaan yang sangat jauh dari ekspetasiku itu. 

Turun dari motor Ethan, aku memintanya menunggu sebentar. 

"Lo enggak keberatan nunggu, kan? Gue mau cek ke dalam dulu. Perasaan gue enggak enak," pamitku segera meninggalkan Ethan yang masih duduk di atas motornya. 

Tanpa menunggu jawaban Ethan, aku melangkah menuju pagar dan membuka pintunya dengan kunci cadangan yang kumiliki. Aku bahkan lupa menawari Ethan untuk ikut masuk sekedar melepaskan penat setelah berkendara. 

Suasana mencekam di luar, ternyata tidak lebih buruk dari keadaan di dalam rumah. 

Aku bergegas mencari Rima, berlari ke kamarku yang sekarang ditempati mama, atau kamar papa.

Tidak ada seorang pun yang menyahut ketika aku panggil.

Kamar Rima yang masih kelihatan lebih rapi dari dua kamar lainnya di lantai satu pun terbuka lebar. Tidak ada tanda-tanda adikku yang baru memasuki kuliah semester ke tiga itu di dalam situ. Apalagi kamar mama. Pintunya yang tertutup tidak rapat menguarkan aroma minyak kayu putih yang sangat kuat. Juga kosong tak berpenghuni. 

Jantungku berdegup semakin kencang. Berharap bisa bertemu dengan papa di kamarnya dan memberitahuku ke mana Rima dan mama pergi. Tapi nihil. Kamar papa pun gelap. Hanya bau obat-obatan yang menusuk hidung saat aku membuka pintunya.

Peluh mengalir deras dari ujung pelipisku. Aku menyekanya terburu-buru. Lalu teringat untuk mengecek ponsel yang aku masukkan dalam saku celana.

Aku membelalak saat mendapati puluhan miscall dari Rima.

Perasaanku semakin tak menentu. Apalagi saat membaca pesan singkat Rima yang dikirimkannya tiga puluh menit yang lalu.

Kak, Papa anfal. Kali ini sangat buruk. Kami membawanya ke Rumah Sakit Jantung Harapan Bersama.

Lututku lemas, tak lagi sanggup menahan beban tubuhku.

Seketika aku lunglai ke lantai. 


*******

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*******

Akhiirrnnyaa Nyonya bisa menepati janji apdet dua chapter hari ini hehehe....

Nyonyaaa syenaanng syekalii.... Syalalalala....

Cuss lanjut baca ya
Jangan lupa komen kalo ada yang kurang pas di hati atau kebangetan kamu suka 😍😍

Pokoknya tinggalkan jejak manis yang banyak yes??

Enjoy reading!

Muaachhhh muaacchh lope lope
NM




What's Wrong With You, Boss? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang