Empat

5.8K 390 5
                                    

Selesai olahraga pagi di hari Jum’at, Thalita membubarkan diri dari barisan anak-anak. Kini langkah kakinya menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. Dari belakang Rosa juga ikut mengekori.

“Dengan kondisi kayak gitu kamu berani ya datang ke sekolah?” Rosa mensejajarkan langkahnya sebelum Thalita masuk ke dalam kamar mandi khusus untuk guru.

Thalita menoleh. “Maksud kamu?” dahinya mengernyit. “Kenapa nggak berani? Aku nggak papa kok. Nggak ada luka juga ataupun sakit dibagian tubuhku. Cuma….” Thalita menjeda ucapannya seperkian detik. “Sakitnya dibagian ini.” Dia menunjuk pada bagian dadanya. Hatinya yang dia maksud.

“Justru itu.” Rosa meraih kedua bahu Thalita agar temannya itu menghadap kepadanya. Jari telunjuknya lalu menyentuh kedua mata Thalita. “Udah habis berapa liter kamu nangis semalam, Hm?” tanyanya. “Wajahmu sumpah sembab banget, Ta. Jelas kelihatan banget kalau kamu habis nangis.”

Thalita mengembus napas panjang. “Bodo’,” jawabnya. Lalu dia masuk ke dalam kamar mandi.

Thalita menarik napas dan mengeluarkan lewat mulutnya. Benar apa yang dikatakan Rosa, wajahnya kini tidak kelihatan sedang baik-baik saja. Namun Thalita tidak mau absen ke sekolah, bukan karena dia kini sudah jadi PNS dan tidak boleh sembarangan ijin seenaknya, melainkan jika dia tidak masuk lantas apa yang akan dia lakukan di rumah? Berdiam diri di rumah tanpa aktifitas justru membuat dia semakin ingat tentang Fadhil. Setidaknya dengan melakukan aktifitas dia bisa menepis rasa sedihnya.

Setelah mencuci tangannya Thalita keluar dari kamar mandi. Saat membuka pintu dia melihat Rosa masih berdiri tegap disana.

“Kamu nungguin aku? Sobat yang baik banget kamu, ya?” tangan Thalita mencubit pelan pipi Rosa dan dibalas decakan dari temannya itu.

“Pakai ini.” Rosa menyodorkan kacamata untuk Thalita.

Dahi Thalita berkerut. “Ngapain aku harus pakai ini?”

“Udah deh nggak usah bawel.” Rosa menyematkan kacamata itu ke wajah Thalita. Setidaknya dengan memakainya mata sembab Thalita sedikit tersamarkan. “Anggap saja kamu sekarang jadi Nissa Sabyan, oke?” Rosa mengerling mata kemudian pergi.

Thalita hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku temannya itu.

“Eh.” Rosa kembali lagi menghampiri Thalita.

“Kenapa lagi?”

“Kamu aku kenalin sama temennya mas Dewa ya, Ta?”

Dahi Thalita berkerut. “Nggak.. nggak.” Dia menggeleng.

“Ta, ini beneran cakep deh orangnya.”

“Nggak,” tolak Thalita sambil berjalan. Tidak menggubris apa yang baru saja dikatakan Rosa. Judulnya ternyata masih sama ‘perjodohan lagi’.

“Ayolah, Ta.”

Langkah Thalita berhenti. Lalu menatap Rosa. “Nggak, Rosa. Udah deh kamu jangan kayak papa suka banget jodohin orang. Aku malas tahu nggak.”

“Tapi temannya mas Dewa ini tentara, Ta.”

“Iya aku tahu mas Dewamu juga kan tentara.” Thalita kembali memacu langkahnya.

“Dia beda dari Fadhil, Ta.”

Seketika langkah kaki Thalita tiba-tiba terhenti. Telinganya tersentil ketika Rosa menyebut nama itu. Thalita memejamkan matanya sambil mengembus napas panjang.

“Coba dulu ya, Ta. Ya? Please!” Rosa menangkup tangannya. Merajuk agar Thalita mau menerima tawarannya untuk memperkenalkan Thalita dengan seorang tentara, teman dari pacarnya.

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now