Delapan Belas

3K 214 1
                                    

“Rencanamu selanjutnya apa?”

Rosa kembali pada topik awal, yang membuat Thalita ingin bertemu dengannya adalah untuk membahas tentang pertunangan yang sama sekali tidak diinginkan Thalita.

Thalita menyandarkan punggungnya pada kursi. Dia mengangkat bahunya. Pandangannya mengarah ke luar café. Menikmati pemandangan taman yang begitu asri dan banyak pepohonan yang ditanam di sana. Café yang dia pilih memang mengusung nuansa hijau. Itu yang Thalita inginkan di saat pikirannya kini sedang carut marut. “Aku juga nggak tahu, Ros. Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk menyerah.”

“Lha pesimis gitu.” Rosa mencondongkan badannya ke arah Thalita.

“Aku juga nggak tahu Rosa apa yang harus aku lakukan agar pertunangan itu nggak terjadi.”

Rosa menjentikkan jemarinya. “Aku punya ide.”

“Hem?”

“Kenapa kamu nggak coba aja cari pacar bohongan. Kamu bawa itu pacar bohongan kamu ke rumah lalu tunjukkan ke semua orang rumah kalau kamu sudah punya pilihan sendiri.”

Thalita refleks melotot. “Nggak.. Nggak,” tolaknya. “Aku nggak mau ujung-ujungnya diakad sama pacar bohongan yang kamu maksud itu. Kamu tahu gimana papa aku, Rosa? Papa pasti nyuruh aku cepet-cepet nikah kalau aku sudah punya pilihan. Dan aku nggak mau nurutin ide sintingmu itu, aku nggak mau terjebak dalam rencana konyol itu. Nggak!”

Rosa mengembus napas. “Makanya cari pacar beneran, biar bisa nikah sesuai pilihan,” dengus Rosa sambil memincingkan matanya.

Thalita mengibaskan tangannya. “Rosa, tolong kamu dengar. Berapa kali aku bilang bahwa aku nggak pingin berhubungan dengan lelaki. Cukup!”

“Lalu, sampai kapan kamu terus hidup dalam kesendirian seperti ini? Ta, kamu juga harus dengarkan aku dan jangan membantah apalagi memenggalnya, oke?”

“Hem, coba katakan.”

“Kamu mau terus-terusan hidup sendiri seperti ini? Ta.. mencintai dan dicintai itu menyenangkan lho. Cobalah untuk membuka hati. Aku yakin kamu bisa kalau kamu sedikit saja mau membuka maka ada jalan untuk cinta itu masuk ke hatimu.”

Thalita mengembus napas. Mengalihkan pandangannya dari Rosa. Pikirnya, Rosa salah. Thalita sudah tidak mau lagi berurusan soal cinta. Cinta baginya cukup untuk Fadhil, kala itu. Sekarang, tidak akan ada cinta lagi, baik untuk Fadhil maupun orang lain. Fadhil sudah mematahkan cintanya. Fadhil sudah menghancurkan kepercayaannya.

Perempuan seperti Thalita, adalah tipe yang tidak mudah bangkit. Dia terlalu mendalami perannya yang terlalu memikirkan masa lalu. Kisahnya yang telah berlalu selalu menjadi bahan pertimbangan dalam langkahnya di masa depan. Dia selalu memikirkan hal-hal dan kemungkinan buruk akan terjadi pada dirinya. Seperti mencintai seseorang kembali, Thalita takut masa depannya akan bernasib sama seperti dulu.

Sendiri adalah pilihannya. Dengan sendiri dia bisa menentukan atas hidupnya sendiri. Karena luka itu masih menganga, Thalita hanya ingin mencoba mengahapus jejak-jejak patah hati yang sudah Fadhil tinggalkan untuknya. Terlalu sulit move on, memang pernyataan itu benar. Move on tidak seperti membalik telapak tangan, seketika rasa cinta yang dulu pernah tertanam dengan mudah sirna tak bersisa. Itu mustahil sekali.

Thalita mengangkat bahu. Tangannya lalu meraih ponsel, mendapati pesan dari Satriya lagi. Thalita mengetik satu kata ‘sibuk’ lalu segera dia kirim. Pikirannya sudah terlalu rumit.  Hingga akhirnya dia lebih memilih meminum es lemon tea-nya. Sedangkan Rosa, dia membiarkan Thalita untuk sejenak merenungi bahwa apa yang baru saja dia katakan adalah benar dan jalan sendiri yang dipilih oleh Thalita adalah salah besar.

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now