Sebelas

3.5K 254 7
                                    

Thalita menuruni tangga penghubung antara lantai bawah dan kamarnya. Ini hari minggu, dimana dia bebas dari segala rutinitas sekolah. Thalita berjalan menuju teras depan untuk bersiap olahraga pagi.

“Sudah siap?” tanya Thalita.

Fino sudah berada di rumahnya sejak setengah jam yang lalu. Dia sekarang sedang bercengkrama dengan papa Syarif sambil menikmati secangkir kopi dan kudapan yang sudah dibuat oleh mama Hera.

“Dari tadi aku juga sudah siap, Ta. Nungguin kamu lama banget. Niat jogging pagi saja dandannya kelamaan. Apa niat cari jodoh kamu?”

Thalita mendengus. “Ish!”

“Lho iya Fin, sekalian ini Thalita carikan jodoh. Temanmu sesama polisi bisa itu,” sahut papa Syarif.

“Papa apaan sih.” Thalita semakin kesal.

Melihat ekspresi Thalita yang kesal seperti itu membuat papa Syarif tertawa.

“Masmu kemana? Nggak sekalian ikut kita juga?” tanya Fino.

Thalita mengangkat bahunya. “Sibuk mungkin,” jawabnya. “Yaudahlah kita berangkat berdua saja,” ajak Thalita dan dibalas anggukan Fino.

“Kita berangkat, om,” pamit Fino kemudian dia berlalu menyusul Thalita yang sudah memasuki mobilnya.

“Sekalian carikan jodoh buat Thalita, Fin,” teriak papa Syarif dari arah teras. Fino menanggapi dengan mengacungkan satu jempolnya ke udara.

***

Thalita sudah ngos-ngosan. Dia sudah tiga kali putaran mengitari taman kota pagi ini. Dia berhenti, kakinya juga sudah merasa lelah. Peluh di dahi dan lehernya sudah membanjiri. Thalita lalu mengusap dengan handuk kecil yang sudah dia lingkarkan di lehernya.

“Baru tiga putaran saja sudah berhenti. Dasar,” ucap Fino sambil mengacak rambut Thalita yang dikuncir kuda.

Thalita melengos. Lalu dia berdecak. “Jangan samain aku sama mas Fino lah. Mas Fino ‘kan sudah terbiasa.”

“Hahahaha.”

Thalita beranjak.

“Mau kemana?” tanya Fino.

“Aku haus. Pingin cari minum. Mas Fino mau di belikan?”

“Boleh tapi setelah ini nyusul. Kamu pergi duluan lah.”

Thalita mengangguk. Dia kemudian menuju ke minimarket dekat taman kota. Hanya sekitar lima puluh meter dengan menyebrangi jalan dari taman kota. Setelah lima belas menit Thalita sudah membawa kantung putih berisi dua air mineral.

“Hai, adik.”

Suara seseorang mengangetkan Thalita. Dia menoleh. Mencari siapa yang sudah menyapanya. Ternyata suara itu milik Satriya. Pria itu ternyata ada di minimarket dengan membawa satu kantung kresek yang lebih besar.

“Lho mas Satriya?” Thalita menjawab sapaan Satriya. Dia menghampiri pria itu yang baru saja keluar dari minimarket. “Mas ngapain ada disini?” tanyanya.

Satriya tersenyum. Senyum yang selalu menawan. Thalita akui itu, namun sama sekali Thalita tidak terpesona dengan senyumannya. Biasa saja. “Mas habis beli sabun mandi sama keperluan untuk cuci baju,” jawab Satriya. “Kamu sehat?”

Thalita terdiam sejenak. Kenapa Satriya menanyakan itu? Sejak kepergiannya tiba-tiba malam itu Satriya tidak menanyakan tentang kenapa Thalita pergi. Apa Satriya tidak tahu? Itu tidak mungkin. Pria itu sudah jelas mengetahui bola mata Thalita yang sudah dibanjiri air mata. Apa memang Satriya sengaja tidak ingin menanyakan tentang itu? apa dia memang tipe pria yang tidak mau mencampuri urusan orang? Thalita mengangkat bahunya. Biarlah itu menjadi urusan Satriya.

“Dik.” Satriya menjentikkan jarinya. Tentu saja Thalita tersadar dari lamunannya.

“Oh, baik. Sehat. Hehe..” jawab Thalita.

Satriya mengangguk.

“Kamu sudah selesai beli, Ta?” Fino menghampiri Thalita dan Satriya yang tengah mengobrol di depan minimarket.

Melihat kedatangan Fino membuat Satriya menoleh. “Kalau gitu mas duluan ya, dik,” pamit Satriya. meninggalkan Thalita dan juga Fino. Ternyata Satriya ke minimarket dengan menaiki sepedanya. Mungkin dia sekalian mampir setelah bersepeda pagi.

“Siapa, Ta?” tanya Fino. Dia duduk di depan kursi minimarket.

Thalita ikut mengekori Fino. Dia kemudian duduk bersebelahan dengan Fino. Thalita mengeluarkan dua botol mineral dan memberikannya pada Fino. “Itu teman yang di kenalin Rosa, mas.”

“Akhirnya…”

Dahi Thalita mengernyit. “Akhirnya apa?”

“Akhirnya adikku yang cantik ini mau membuka hati lagi,” ucap Fino sambil mencubit hidung Thalita gemas.

Thalita melepaskan cubitan Fino. “Siapa juga yang mau membuka hati. Nggak akan. Kita cuma temenan saja mas nggak ada itu menjurus ke soal perasaan. Mas Satriya orangnya kelihatan baik jadi apa salahnya kita berteman,” jawab Thalita.

“Oh begitu.. emang pekerjaannya apa?”

“Dia tentara,” jawab Thalita. Fino lalu menatap Thalita inten. “Kenapa?” Thalita menanyakan kenapa ekspresi Fino seperti itu ketika memberitahukan pekerjaan Satriya.

“Wah bagus itu. Kenapa nggak coba aja jalan sama dia,” saran Fino namun Thalita tetap menggeleng kepala. “Nggak ada salahnya mencoba.” Tetap saja Thalita menggeleng kepalanya. 

Apa yang dirasakan Thalita memang benar adanya. Kenyataannya dia memang tidak tertarik sama sekali dengan Satriya. Jangankan dengan Satriya yang jarang berkomunikasi dengannya, dengan Lingga yang sering bertemu dengannya pun Thalita bersikap biasa. Tidak ada perasaan tertarik akan sosok Lingga. Padahal Lingga adalah pria yang bisa dibilang banyak pengagum. Siapa yang tidak mengagumi dokter muda itu? namun bagi Thalita sama sekali tidak ada getaran yang tumbuh dalam hatinya. Tidak ada rasa berdebar yang pernah Thalita rasakan seperti dua tahun yang lalu.

“Hei, Fadhil.”

Thalita refleks menoleh ketika mendengar nama pria yang pernah bertahta dalam hatinya disebutkan. Pandangan Thalita menangkap sosok Fadhil telah berjalan menghampirinya dan Fino. Dia juga sepertinya baru saja berolahraga di area taman kota ini. Lagi-lagi dia dipertemukan lagi dengan Fadhil. Thalita memejam mata. Apakah takdir memang sebercanda ini?

“Mas Fino ngapain ada disini?” tanya Fadhil. Dia pun ikut bergabung. Dia juga sekilas melirik Thalita yang hanya diam dan sibuk bermain dengan botol mineralnya.

“Habis jogging sama Thalita.” Fino mengacak rambut Thalita lagi. Tentu saja Thalita berdecak. “Tapi dia baru tiga kali putaran sudah nyerah. Payah,” ledek Fino.

“Iya deh iya, polisi mah bebas. Lari seratus kali putaran mah sanggup,” jawab Thalita ketus.

“Justru kalau larinya bareng sama tentara tambah semangat lho. Ta.”

Thalita menoleh cepat. “Tentara siapa?”

“Itu tadi.” Jari Fino membentuk huruf V.

“Siapa, mas?” kali ini Fadhil yang bersuara.

Thalita menggigit bibir bawahnya. Fadhil sepertinya begitu penasaran apa yang sudah dikatakan kakak sepupunya. Melihat raut wajah Fadhil yang begitu ingin tahu.

“Itu lho lelaki yang mau deketin Thalita.” Fino memang berniat menggoda Thalita.

“Mas Fino apaan sih,” seloroh Thalita. “Kita cuma temenan biasa.”

“Nah.. justru dari temenan bisa jadi hubungan.” Fino berganti melihat Fadhil. “Fadh, aku heran sama Thalita. Dia ini banyak yang deketin, mulai dari dokter Lingga sampai temannya tadi itu yang tentara. Tapi dia ini sama sekali nggak berminat.”

Thalita menunduk. Ada rasa berkecamuk dalam hatinya. Apalagi Fadhil juga menatapnya. Kenapa Fadhil menatapnya seperti itu? Apakah dia cemburu? Apakah dia tidak terima ada beberapa pria yang sudah mendekati Thalita?

“Apa kamu mau aku kenalin sama teman polisi, Ta?” Fino lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto-foto yang ada di galeri. Dia memperlihatkan sebuah foto kepada Thalita. Dalam foto tersebut ada Fino bersama dua temannya. Thalita sekilas meliriknya. “Dua laki-laki ini temanku. Sebelah kiri namanya Arkana dan satunya lagi namanya Danda. Mereka berdua sama-sama ditugaskan di Lamongan. Kamu milih mana?” tanya Fino. “Eh tapi jangan yang ini, Ta.” Jari telunjuk Fino mengarah pada foto pria di sebelah kirinya. “Dia sudah beristri. Istrinya juga sama kayak kamu, guru juga tapi guru TK. Yang satunya ini boleh, namanya Danda. Kalau kamu mau nanti aku kenalin sama dia.”

Thalita memincingkan matanya. Melihat lekat-lekat sosok pria bernama Danda itu. Lalu Thalita menyingkirkan ponsel Fino. “Ogah.”

“Kenapa?”

“Kelihatan dari mukanya udah tampang-tampang playboy.” Thalita mengangkat bahunya. Merasa ngeri.

“Hahahaha.. emang benar sih.”

“Ya nggak harus dikenalin ke aku juga kali mas Fino...” Thalita mengerang sambil memutar kedua bola matanya. Sedangkan Fadhil hanya menjadi pendengar pembicaraan mereka berdua. “Pulang yuk mas. Aku lapar,” ajak Thalita. Dia sudah berdiri.

“Yasudah kita cari tempat makan di dekat sini saja. Bareng bertiga. Ya nggak, Fadh?” Fino menoleh ke arah Fadhil. Fadhil hanya tersenyum sambil mengangguk kecil.

“Nggak usah, mas. Aku pingin makan di rumah. Pingin makan masakan mama.” Thalita melirik Fadhil sehingga kedua mata mereka masing-masing saling bertemu. Bedanya Thalita melirik Fadhil dengan sedikit tatapan tidak suka jika harus makan bersama. Sedangkan Fadhil tatapannya sulit diartikan. Thalita kemudian beranjak menuju mobil Fino yang terpakir.

“Lain kali saja Fadh kita makan bareng. Sepupu kita yang manja itu memang harus diturutin,” ucap Fino. “Duluan,” pamitnya dan dibalas anggukan Fadhil. Fino lalu berjalan menyusul Thalita.

Fadhil menarik napas panjang. Pandangannya menatap punggung Thalita yang perlahan menjauh.

***

Lama ya nungguin mereka? 'Kan aku sudah bilang yang sabar nunggu mereka. Cerita ini emang slow update jadi kudu sabar bener nunggu.

Thanks for reading...

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang