Dua Puluh Dua

2.9K 201 1
                                    

Thalita duduk bersama keluarganya, melakukan rutinitas paginya yaitu sarapan pagi. Seperti kebiasaan setiap harinya, setiap kali makan tidak akan pernah ada obrolan. Mereka sibuk dengan sarapannya masing-masing. Syarif sibuk dengan secangkir kopi dan koran pagi terbarunya, Radit sedang berkutat dengan iPhone-nya, dan Thalita menikmati sarapan paginya yang terasa hambar. Bukan karena masakan mamamnya yang hambar, melainkan lidahnya terasa hambar. Mood untuk makannya tidak ada, hanya saja dia terpaksa karena dia tidak ingin menyiksa tubuhnya sendiri. Thalita mempunyai penyakit maag sehingga dia tidak boleh melewatkan sarapan pagi sebelum dihajar aktivitas setengah harian di sekolah.

"Aku berangkat," ucap Thalita setelah menandaskan segelas susunya.

"Hem, nunggu Lingga sebentar," ucap Syarif. Dia berbicara masih dalam mengawasi koran yang sedang dibacanya. "Papa sudah suruh Lingga untuk menjemputmu.

Thalita mengembus napas pelan. Kemudian dia mengangguk. "Thalita tunggu di depan." Dia kemudian beranjak.

"Oh ya, Ta," cegah Syarif sehingga membuat langkah Thalita terhenti. "Nanti kalau pulang kamu juga sama Lingga, Papa juga sudah bicara ke dia."

Kini dengusan Thalita lebih keras dari sebelumnya. "Baiklah, lumayan sekarang dapat ojek gratisan," jawab Thalita, kemudian dia berjalan menuju teras depan rumah.

Sampai di teras depan, Thalita sudah melihat Lingga duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Thalita kemudian menghampiri pria itu.

"Kenapa nggak masuk tadi?"

Lingga menoleh, sadar akan kehadiran Thalita di hadapannya. "Eh kamu, Ta. Enggak, aku nunggu di sini saja nggak enak minta sarapan sama tante Hera terus."

Bibir Thalita membentuk huruf O. Dia kemudian mengajak Lingga untuk berangkat menuju tempat rutinitas masing-masing. Dalam perjalanan, tidak ada yang mereka obrolkan. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Thalita tidak tahu apa yang sedang Lingga pikirkan saat ini, biasanya pria itu tidak pernah absen mengajaknya bicara namun kali ini pria itu lebih memilih diam.

Deringan ponsel berbunyi keras. Itu berasal dari ponsel Lingga. Pria itu meraih benda pipih yang ada di atas dashboard mobil dan mengecek siapa yang sudah menelefon pagi ini. Thalita mengamati lewat ekor matanya meski posisi kepalanya dia hadapkan ke jendela namun ekor matanya tahu apa yang dilakukan Lingga. Jemari pria itu menggulir tombol reject di layarnya.

Tidak lama kemudian deringan ponsel itu kembali bordering, Lingga melihatnya. Kali ini dia tidak me-reject namun membiarkannya tetap bordering sampai beberapa kali.

"Kenapa nggak diangkat saja sih!" gerutu Thalita.

Lingga menggaruk kepalanya. "Biarkan saja."

"Berisik tahu nggak!"

Lingga menoleh ke arah Thalita, lalu mengambil ponsel itu lagi dan mematikannya.

"Kenapa dimatiin?"

"Kamu cerewet banget, sih! Katanya berisik ya aku matikan."

Thalita mengembus napas kasar, lalu kembali memalingkan mukanya. Memaksakan dirinya untuk melihat jalanan kota Surabaya yang sebenarnya dia tidak menikmati sama sekali. Melihat kendaraan berlalu lalang, melihat kendaraan roda dua yang tidak tahu aturan berkendara dan lebih parahnya lagi mendahului kendaraan lain yang nyaris membahayakan dirinya karena dari arah yang berlawanan sebuah truk sedang melaju.

"Cari mati itu orang," gerutu Thalita dengan ocehannya sendiri.

"Siapa?" Lingga menanggapi.

"Pengendara motor tadi itu. Seharusnya nggak asal mendahului seperti itu, bahaya, kan? Untung tadi truk dalam kecepatan sedang kalau nggak bisa mati dia."

"Itu pilihan dan resikonya."

Thalita menoleh. Dahinya membentuk sebuah kerutan. "Maksud kamu?"

"Jika dia memilih mendahului sedangkan dia sudah tahu ada kendaraan lain dari arah yang berlawanan sedang melintas tentunya dia sudah tahu resiko bahayanya. Berani memilih juga berani mengambil resiko yang bakal terjadi."

Thalita terdiam. Mencerna apa yang baru saja dikatakan Lingga. Dia hendak melanjutkan untuk menanyakan apa maksud tersirat perkataan Lingga itu namun mobil Lingga sudah sampai di depan gerbang sekolahnya. Lingga kemudian melepas sabuk pengamannya dan lebih dulu turun, setelah itu membuka pintu untuk Thalita.

"Nanti kamu yang jemput, kan?" tanya Thalita.

Lingga mengangguk.

"Kamu nggak lagi sibuk di rumah sakit?"

"Aku usahakan tetap bisa menjemputmu." Lingga menepuk bahu Thalita, lalu pergi menuju pintu kemudinya.

Thalita tertegun. Meski mobil Lingga sudah berlalu, dia masih tetap berada di posisinya berdiri.

***

Berulangkali Thalita melihat benda bulat yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, namun Lingga belum kunjung datang untuk menjemputnya. Sudah sekitar dua puluh menit dia menunggu di depan gerbang sekolah, duduk di bangku panjang dekat pos jaga, melihat ke sana ke mari namun Lingga belum datang juga.

Terik matahari yang menyengat membuat tubuh Thalita merasakan hawa panas. Peluh di lehernya sedikit berjatuhan, sedangkan tidak ada tempat teduh, ingin kembali ke ruang guru namun semua ruangan sudah terkunci. Di sini hanya tinggal dirinya seorang diri.

Pandangan Thalita baru saja menangkap sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang sekolah. Entah sejak kapan mobil itu sudah terparkir di sana. Mobil yang dia hapal betul milik siapa. Pemiliknya kemudian keluar, dan berjalan menuju di mana Thalita kini sedang berada. Tubuh tinggi dengan balutan kemeja merah maroon yang melekat pas di tubuh itu membuat Thalita tercengang. Pandangan Thalita melihat sekitar bahkan sampai jauh ke arah koridor sekolah, melihat jauh deretan bangku panjang yang berada di depan ruang-ruang sekolah, Thalita tidak melihat murid didiknya yang masih menunggu jemputan.

"Kamu nunggu jemputan?" tanya Fadhil. Ya, pria itu saat ini sudah berada di hadapan Thalita.

"Kamu ngapain ke sini? Bukannya Dinda hari ini tidak masuk sekolah?" tanya Thalita kembali. Dia baru saja ingat bahwa hari ini Dinda tidak masuk sekolah karena sakit.

Fadhil ikut duduk di samping Thalita sehingga membuat Thalita berdiri seketika.

"Kamu kenapa? Lihat aku kayak lihat hantu saja," rutuk Fadhil.

"Kamu ngapain ada di sini? Mending sekarang kamu pulang atau kembali bekerja. Aku nggak pingin lihat kamu di sini."

Thalita merasa was-was. Jangan sampai keberadaannya saat ini berdua dengan Fadhil yang tidak disengaja diketahui oleh Radit ataupun orang-orang yang mengenal Radit dan papanya. Akan menjadi sebuah masalah baru jika keluarganya tahu tentang ini.

"Ta, aku ingin bicara sama kamu."

"Kamu mau bicara apa?" sengak Thalita. "Aku sudah nggak pingin bicara sama kamu lagi, Fadhil. sekarang kamu pergi dari sini."

Thalita beranjak. Dia ingin meninggalkan Fadhil di sini. Namun pergelangan tangannya dicekal oleh Fadhil. "Lepasin, Fadhil!" rontanya. "Jangan ganggu aku."

"Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu sampai kamu mau berbicara denganku."

"Apa kamu sudah nggak waras?" Thalita menarik keras tangannya sampai akhirnya berhasil terlepas meski menyisakan rasa sakit di pergelangan tangannya. Thalita kemudian pergi.

Tidak sampai di situ, Fadhil mengejar Thalita dan mencekal pundaknya. "Ta, aku mohon dengarkan aku. Aku ingin kita bicara, ini serius."

Thalita menggeleng, lalu dia melihat mobil Lingga baru saja berhenti. Dia kemudian menuju mobil Lingga dan segera masuk ke dalam.

Thalita menarik napas dalam-dalam, berulangkali, dan mengeluarkan lewat mulutnya. Dia mencoba menetralkan degup jantungnya. Kenapa Fadhil semakin memberanikan diri muncul ke dalam hidupnya lagi? Apa yang sebenarnya diinginkan pria itu?

Thalita menoleh ke arah Llingga. "Ga," panggilnya.

"Hem," jawab Lingga masih fokus pada kemudinya.

"Ada yang pingin aku minta darimu."

"Apa?"

Thalita menggigit bibir bawahnya sambil menelangkupkan kedua tangannya. Tubuhnya kini lebih condong ke arah Lingga. "Aku mohon jangan adukan masalah tadi ke Mas Radit ataupun papa, please!"

Dahi Lingga membentuk kerutan. Dia kemudian menyeringai.

"Kok kamu malah nyengir gitu, Ga. Aku serius." Bibir Thalita mencebik.

"Oke, aku nggak bakal aduin ke Radit ataupun Om Syarif. Tapi setelah ini kamu harus ikut aku."

Thalita merespon cepat dengan anggukan kepala. Matanya begitu berbinar karena Lingga setuju tidak akan mengadukan pertemuannya dengan Fadhil.

Lingga tersenyum sambil menggenggam erat stang mobilnya. "Setelah ini kamu ikut aku membeli cincin untuk pertunangan kita nanti."

Mendengar itu, Thalita menelan salivanya yang seketika terasa sulit.

***

Thanks for reading...

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now