Dua Puluh Tujuh

2.9K 182 17
                                    

Mobil Honda Jazz menepi di bahu jalan. Pemiliknya, Lingga, keluar dan langsung menghampiri Thalita. Begitu mendapat panggilan telepon dari Thalita, Lingga langsung meninggalkan rumah sakit dan segera menemui Thalita yang sedang menangis saat menelepon tadi.

“Kamu kenapa?” tanya Lingga, merasa khawatir dengan keadaan Thalita. Perempuan itu kini berwajah sembab akibat menangis.

Thalita semakin menangis. Dia kemudian memeluk Lingga, tidak peduli saat ini tengah berada di jalanan yang tidak sepi kendaraan berlalu lalang. Hingga Lingga yang merasa tidak enak dipeluk Thalita, akhirnya membawa perempuan itu masuk ke dalam mobilnya.

“Thalita, kamu kenapa tiba-tiba nangis seperti ini?” tanya Lingga lagi. Saat ini mereka berdua sudah berada di dalam mobil.

Thalita masih belum menjawab. Dia masih menangis sehingga Lingga akhirnya memeluknya kembali. Membiarkan Thalita menangis sampai perempuan itu benar-benar merasa tenang.

Hampir lama Thalita menangis di pelukan Lingga. Perasaannya kini sudah mulai tenang, dia pun akhirnya melepaskan diri dari pelukan pria yang sebentar lagi akan bertunangan dengannya.

“Sudah merasa tenang?” tanya Lingga sambil menyentuh kedua pipi Thalita. Lingga pun mengusap air mata yang masih tersisa di pipi Thalita. “Ada apa?”

“Fadhil, Ga.”

“Kenapa dia? Apa yang dia lakukan ke kamu?” Lingga menjadi gusar.

Thalita kemudian menceritakan apa yang sudah terjadi akhir-akhir ini, begitupun kejadian di warung Mak Yem tadi. Thalita menunjukkan pesan-pesan yang beberapa hari ini menerornya dan ternyata semua itu ulah Fadhil yang ingin menghalangi pertunangannya dengan Lingga. “Dia jahat banget sih sama aku, Ga. Belum cukup selama ini sudah nyiksa aku?” Thalita kembali menangis.

Lingga meraih kepala Thalita, lalu menaruh di pundaknya sambil mengusap rambut Thalita. Tidak ada komentar apapun dari Lingga. Pria itu tengah memikirkan sesuatu.

“Ga.”

“Hem.”

“Pertunangan kita dipercepat saja.”

Lingga tersentak kaget. “Kamu serius?”

Thalita mengangguk. Kepalanya masih berada di pundak Lingga. “Aku nggak mau Fadhil terus-terusan ganggu aku. Kalau kita sudah bertunangan, Fadhil tidak akan datang-datang lagi ke sekolah untuk menemuiku.”

Lingga terdiam. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Wajahnya tampak gelisah.

“Kenapa kamu diam saja, Ga?” Thalita mengangkat kepalanya, lalu melihat Lingga yang sedang gelisah. “Kenapa kamu gelisah gitu? Kamu nggak suka pertunangan kita dipercepat?”

“Nggak. Baiklah kalau kamu ingin hari pertunangan kita dipercepat.” Lingga tersenyum. Kemudian pintu mobilnya diketuk seseorang di luar sana. Rupanya orang itu menyuruh Lingga untuk tidak memarkirkan mobilnya di bahu jalan ini. Lingga pun mengerti dan segera membawa mobilnya pergi.

“Kamu mau makan apa?” tanya Lingga setelah mobilnya melaju di tengah-tengah ramainya lalu lintas.

“Terserah.”

“Tidak ada menu ‘terserah’ di restoran, Nyonya Lingga.”

Thalita terkekeh. “Nyonya Lingga?”

“Iya, ada yang salah? Sebentar lagi kamu jadi istriku.”

“Kita bertunangan saja belum Ga, sudah sebut-sebut istri.”

“Apa kita nggak usah bertunangan saja, langsung nikah. Aku siap.”

“Jangan ngaco! Thalita memelototi Lingga. “Emm… kalau kita makannya di rumah sakitmu saja, gimana? Kita beli di luar tapi makan di ruanganmu. Kamu ada jadwal di rumah sakit, ‘kan? Ini sudah kelewat jam istirahat, lho!”

“Kita makan di luar saja. Jangan di rumah sakit.”

“Kenapa?”

“Aku nggak mau kamu digangguin.”

“Digangguin siapa?” Dahi Thalita mengernyit.

“Emm..aku nggak mau kamu digangguin para dokter muda di sana. Aku nggak mau calon istriku yang cantik ini jadi bahan godaan mereka.” Lingga menaik-turunkan kedua alisnya, menggoda Thalita.

Thalita tertawa.

***
Lingga membawa Thalita ke restoran yang tidak jauh dari rumah sakitnya. Restoran yang menyediakan berbagai macam menu Nusantara membuat Lingga tertarik untuk mengajak makan Thalita di tempat itu. Terlalu malas untuk mengajak Thalita makan di mal, repot harus mencari tempat parkir karena dia harus segera kembali ke rumah sakit.

“Nggak dimakan? Nggak enak?” Lingga mencondongkan tubuhnya ke Thalita, setengah berbisik.

“Eng…nggak, kok.”

“Ya sudah cepetan makan. Aku harus segera kembali ke rumah sakit,” kata Lingga setelah melihat jam dipergelangan tangannya.

Thalita membalas dengan anggukan. Kemudian menyantap menu ayam rica-rica yang sudah dia pesan. Melihat menu Nusantara di restoran ini membuat Thalita tiba-tiba teringat Satriya. Apa kabar pria itu? Semenjak pria itu ganti nomor, jarang sekali mengabari Thalita. Thalita menggelengkan kepala, menepiskan pikiran bebasnya itu. Bagaimana dia bisa kepikiran tentang Satriya? Bukankah sudah menjadi kebiasaan Satriya yang tidak terlalu menyibukkan diri dengan ponsel?

Setelah menandaskan makanan, baik Thalita maupun Lingga keluar dari restoran setelah Lingga membayarnya. Sebelum Lingga kembali ke rumah sakit, dia mengantar Thalita pulang terlebih dulu.

***
Oke, saya mau semua menu yang sudah saya pesan diantar sore hari ya, Mbak,” ucap Thalita disela-sela tangannya yang sibuk memilih beberapa undangan. Dia sedang menelepon bagian catering makanan untuk acara pertunangannya tiga hari lagi. Thalita kemudian mengakhiri panggilannya setelah semuanya beres.

Thalita mengambil napas, dia terdiam melihat layar ponsel di genggaman. Pikirannya bingung hendak mengundang nama di balik layar ponselnya itu. Akhirnya dia pun menghubungi nama itu.

Terdengar suara di seberang sana, panggilan Thalita mendapat jawaban dengan cepat. “Halo, Mas.”

“Iya. Tumben telepon Mas. Ada apa, hem?”

Thalita terdiam.

“Halo? Adik masih di sana?”

“Oh, ya. Emm, Mas Satriya ada waktu malam ini?”

“Kenapa?”

“Ada hal yang ingin aku sampaikan ke Mas Satriya.”

“Boleh, sih. Tapi—“

“Tapi apa?”

“Mas ada waktu setelah Maghrib ini. Jam delapan nanti Mas ada pekerjaan yang sangat penting.”

“Tugas negara ya, Mas?” Thalita terkekeh.

“Hehe, ya begitulah. Gimana? Adik mau kita bertemu setelah Maghrib?”

Oke, kita bertemu di mana?”

“Adik saja yang menentukan, Mas setuju saja.”

Thalita menggigit bibirnya, mencari tempat untuk dia dan prajurit itu bertemu malam ini. “Kita ke Bebibi Gelati Café. Nanti aku share lokasinya.”

Oke.”

Thalita mengakhiri panggilan itu, lalu kembali menyibukkan diri untuk persiapan hari pertunangannya.

***
Holaa......

Lama aku nggak update cerita ini. Maafkeun 🙏 aku sibuk dengan pekerjaan dan proyek bikin buku antologi cerpen.

Btw, silakan beli ya nanti antologi cerpen punyaku yang terbit. Wuehehe promosi 😁😁

Gimana, masih pingin lanjut cerita bu guru? Ternyata banyak yang pingin Thalita sama Satriya, padahal Mas prajurit cuek ehh... Jarang main HP apalagi main PUBG 😋😋

Thanks for reading ❣️

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now