Sembilan

3.7K 268 1
                                    

Thalita melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul dua siang. Usai mengajar dia langsung mendatangi café tempat langganannya bersama Fadhil. Pemiliknya adalah teman Fadhil sendiri.Thalita memilih tempat yang berada di dalam. Karena suasananya tidak sebegitu ramai di luar.

Pandangannya mengarah ke ambang pintu. Dia melihat sosok yang sudah dia tunggu. Dengan balutan kemeja biru dongker Fadhil semakin terlihat cool. Fadhil berjalan ke arah Thalita dan kini dia sudah duduk di hadapan perempuannya. Thalita tersenyum mengamati Fadhil. Namun kali ini Fadhil terlihat berbeda. Air mukannya tidak sumringah seperti biasanya saat bertemu dengannya. Senyum memesona kini berubah menjadi datar. Mata teduhnya kini seperti menyimpan sesuatu. Dia datar tanpa ekspresi.

“Kamu mau di pesanin apa?” tanya Thalita.

“Aku kopi aja,” jawab Fadhil datar.

“Oh.”

Thalita memanggil pelayan café dan memesan apa yang ingin dia pesan dan juga Fadhil. Setelah pelayan café itu pergi, Thalita mengamati Fadhil dengan tatapan aneh. Ada apa dengan Fadhil kali ini? Pria itu kini lebih menekuri ponselnya dan menghiraukan Thalita. Tidak biasanya Fadhil seperti ini. Namun Thalita tidak ingin berburuk sangka. Mungkin Fadhil seperti ini karena sedang banyak pekerjaan di kantornya.

Pesanan tiba. Pelayan café menaruh segelas milk tea dan kopi di meja mereka. Thalita langsung menyambar minumannya karena sedari tadi dia merasa kehausan. Tetapi Fadhil meminum secangkir kopinya sambil terus menekuri ponselnya.

Thalita tidak ingin mengganggu. Dia menunggu sampai Fadhil selesai dengan urusannya. Ya, urusan menekuri ponselnya yang sedari tadi sampai perempuannya diabaikan. Thalita masih menikmati es milk tea-nya hingga kini sudah tinggal setengah gelas.

Fadhil meletakkan ponselnya. Lalu menatap Thalita. Terdengar embusan napasnya. “Ta, aku berhenti.”

Thalita tersendak minumannya. Dahinya berkerut. “Berhenti gimana maksud kamu?”

“Kita berhenti sampai disini.” Fadhil menegaskan ucapannya lagi. “Maaf,” ucapnya lalu melirik jam dipergelangannya. “Aku harus pergi.”

Fadhil beranjak. Dia menuju kasir dan mengeluarkan lembaran uang untuk membayar pesanannya dan Thalita. Sedangkan Thalita masih tercengang di tempat duduknya. Apa yang dikatakan Fadhil dia tidak mengerti. Thalita kemudian beranjak mengikuti Fadhil yang kini sudah mendekati mobilnya.

“Fadh…” panggil Thalita namun Fadhil sama sekali tidak menoleh kebelakang. “Fadhil..” panggil Thalita lagi. Namun masih sama, Fadhil tidak juga merespon. Hingga kini Thalita hanya berdiri di pintu mobilnya. Namun Fadhil tidak juga keluar. Dia hanya terdiam sambil tangannya memegang stang mobilnya. “Fadh.. maksud kamu apa? aku sama sekali nggak ngerti,” ucap Thalita sambil menggedor kaca mobil Fadhil. Namun Fadhil masih terdiam. “Fadhil… buka pintunya. Coba jelaskan semua ini. Berhenti? Apa maksud kamu berhenti? Berhenti dari hubungan ini? tapi kenapa?” tanya Thalita beruntun. Namun Fadhil tetap juga diam. Hingga Fadhil akhirnya melajukan mobilnya dan meninggalkan Thalita dengan segudang pertanyaan dalam pikirannya.

Tidak ada badai diantara mereka kenapa Fadhil tiba-tiba mengucapkan kata berhenti? Thalita menangis hingga seorang satpam café menyuruhnya untuk duduk. Karena pengunjung melihatnya menangis setelah Fadhil meninggalkannya. “Fadhil…..” air mata Thalita bercucuran. Dia masih tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Kenapa Fadhil memutuskan hubungan? Padahal hubungan mereka baik-baik saja. Thalita masih dalam tangisnya.

Thalita mengembus napas. membuyarkan ingatannya tentang bagaimana Fadhil meninggalkannya waktu itu. Setelah memasuki mobil Fadhil Thalita jadi teringat kejadian dimana Fadhil meninggalkannya tanpa alasan.

Seorang pria memakai seragam polisi menghampiri Thalita. Dia adalah Fino, sepupu Thalita. Fino datang setelah Thalita menghubunginya agar segera menemuinya di café. Thalita tidak mungkin menghubungi Radit. Karena dia tahu bagaimana sikap tidak sukanya Radit kepadanya apalagi mengetahui hubungannya kandas, Radit pasti akan bertepuk tangan dan bersorak ramai ketika mendengarnya. Jadi akhirnya Thalita menghubungi Fino.

“Kenapa, Ta?” tanya Fino. Dia adalah satu-satunya keluarga Thalita yang mengetahui hubungannya dengan Fadhil setelah Radit.

“Fadhil…. Mas…. Fadhil…” Thalita masih terisak dalam tangisnya.

“Oke, kamu tenangkan dulu. Jangan berbicara sebelum tangismu mereda.” Fino mengelus punggung Thalita. Membiarkan Thalita menangis. Membiarkan Thalita meluapkan semuanya. Biarkan Thalita selesai menangis dulu baru dia akan menyuruh Thalita untuk berbicara kenapa menangis di sebuah café.

Tangis Thalita sudah mulai mereda. Dia menghapus air mata dipipinya.

“Sudah mendingan?” tanya Fino.

Thalita mengangguk.

“Oke, coba sekarang kamu ceritakan. Kenapa?”

Thalita menoleh ke arah Fino. Menatap kakak sepupunya itu dengan tatapan sedih. “Fadhil tiba-tiba memutuskan hubungan kami, mas.”

“Alasannya?”

Thalita menggeleng. “Aku juga nggak tahu… tiba-tiba dia mengucapkan kata berhenti begitu saja. Aku kejar dia tapi dia malah diam di mobilnya tidak mau keluar apalagi memberi penjelasan kenapa dia memutuskan aku…..” Thalita kembali menangis.

Fino meraih tubuh Thalita. Membawa kepala Thalita ke pundaknya. Tangannya mengelus pundak Thalita. Mencoba menenangkan adik sepupunya itu. Fino tidak menjawab sedikit pun. Dia bungkam setelah mendengar ungkapan Thalita.

Thalita memijit pelipisnya. Ingatan itu kembali berputar di otaknya. Sialnya saat ini dia satu mobil dengan Fadhil. Dia ingin menangis namun dia tidak boleh menangis. Akhirnya dia memilih menyandarkan tubuhnya pada kursi. Membiarkan pandangannya mengarah pada padatnya lalu lintas jalanan kota Surabaya siang hari.

Thalita lebih memilih bungkam selama berada di dalam mobil. Padahal Fadhil beberapa kali meliriknya. Namun Thalita bersikap tak acuh. Yang dia pikirkan adalah cepat sampai ke rumahnya. Bertemu dengan Fadhil malah membuat Thalita sering teringat tentang kisah masa lalunya. Bahkan setelah dua tahun Fadhil menghilang dan tidak ada kabar sama sekali Thalita juga enggan mencari tahu lagi sebab kenapa Fadhil memutuskannya. Memang, setelah Fadhil meninggalkannya waktu itu, Thalita sempat mencoba mencari tahu sebab kandasnya hubungannya namun semua itu nihil karena Fadhil menutup akses untuk Thalita bisa komunikasi dengannya. Fadhil telah memblokir nomor WA dan sosial media Thalita sehingga membuat Thalita merasa kesulitan. Mencari tahu melalui teman-temannya pun Thalita sama sekali tidak mengenal teman-teman Fadhil.

“Sampai, Ta.”

Suara Fadhil membuat Thalita menoleh. Dia melihat ke arah luar. Mobil Fadhil sudah berhenti di depan rumahnya. Thalita melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil tanpa pamit pada Fadhil. Thalita menghampiri mamanya yang sedang menyiram bunga di halaman depan rumah. Fadhil juga sedang berjalan ke arahnya. Ada apa lagi dengan pria itu?

“Siang, bude,” sapa Fadhil sambil menyalami tangan mama Hera.

“Eh Fadhil.. pulang bareng Thalita kok tumben?” tanya mama Hera.

“Tadi jemput Dinda sekalian ngajak Thalita pulang bareng, bude.”

“Oh gitu…” jawab mama Hera sambil tersenyum. “Makin ganteng saja kamu, nak Fadhil. Coba kalau bukan ponakan bude sendiri sudah tak jadikan mantu kamu.”

Thalita kaget. Lalu menoleh ke arah mamanya. Bagaimana bisa mamanya berbicara seperti itu. “Mama apa-apaan, sih.”

“Lho iya, Ta. Coba Fadhil ini bukan keluarga kita. Mama suruh kamu nikah saja sama dia.”

Thalita hanya diam menundukkan kepala. Sedangkan Fadhil sejenak melirik Thalita. Ternyata benar apa yang dipikirkan Thalita kala itu. Hubungannya tidak akan mendapat restu dari keluarganya. Apa yang dikatakan mamanya baru saja membuat Thalita tahu.

“Eh masuk yuk, Fadh,” ajak mama Hera.

“Eng…nggak usah, bude. Kasihan Dinda di dalam. Fadhil harus antar Dinda pulang.”

“Oh gitu… yasudah lain waktu mampir ke rumah ya. Jarang-jarang kamu mampir kesini.”

Fadhil mengangguk. Kemudian menyalami tangan mama Hera. Dia juga tidak lupa melihat Thalita yang masih terdiam. Fadhil kemudian pamit dan berjalan menuju mobilnya.

“Siapa, ma?” tanya Radit. Dia baru saja keluar rumah dan melihat mobil pajero hitam baru saja melaju.

“Itu lho.. Si Fadhil.”

“Fadhil?” Radit tersentak kaget. “Ngapain dia?”

“Barusan ngantar pulang adikmu,” jawab mama Hera kemudian masuk ke dalam rumah.

Thalita mengembus napas pasrah. Radit sudah menatapnya dengan tatapan tidak suka. Sehingga membuat Thalita tidak berani mendongakkan kepala. Dia masuk ke dalam rumah dengan pandangan sedikit menunduk. Dia juga tidak mengajak bicara Radit. Begitupun sebaliknya, Radit juga tidak berbicara ataupun menanyakan apapun pada Thalita.

***

Thanks for reading...

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang