Sepuluh

4K 245 8
                                    

“Ta… sarapan dulu…” teriak mama Hera karena Thalita melewatkan sarapan paginya. Setelah turun dari kamarnya tadi dia langsung mencium pipi mamanya dan pamit berangkat dan tidak menghampiri meja makan bergabung bersama papa dan kakaknya. “Thalita…..” teriak mama Hera lagi.

Thalita memutar balik tubuhnya. Sambil berlari dia menghampiri ke meja makan lalu meneguk minuman susu. Kemudian dia hendak pergi lagi.

“Eh.. itu rotinya nggak dimakan?” gerutu mama Hera lagi.

“Thalita udah telat ini, ma. Nanti Thalita makan di sekolah saja,” balas Thalita sambil berjalan cepat. Dia melihat jam yang melingkar di pergelangannya sudah menunjukkan setengah tujuh lebih. Bisa terlambat dia. Belum lagi jalanan yang macet. Gara-gara semalam dia tidak bisa tidur. Ya, Fadhil tidak juga berhenti berputar-putar di otak Thalita sehingga mengganggu waktu tidurnya.

Langkah kakinya terhenti saat dia hendak mengambil motornya. Sebenarnya Thalita juga punya mobil pribadi namun dia enggan membawanya ke sekolah. Lebih enak menggunakan motor atau ojek online karena lebih cepat sampainya. Thalita mengembus napas. Pandangannya melihat Lingga sudah berjalan menghampirinya.

“Kamu ngapain pagi-pagi kesini?” tanya Thalita dengan tatapan sinis.

“Mau minta sarapan tante Hera.”

“Memangnya kamu nggak bisa sarapan sendiri? sampai sarapan saja numpang ke rumah orang,” ucap Thalita sambil menyilangkan tangannya.

“Hehe…” Lingga terkekeh. “Pagi-pagi jangan ketus gitu lah, cantikmu hilang,” ucap Lingga sambil memegang dagu Thalita.

“Ish!” Thalita melepas kasar tangan Lingga di dagunya.

“Kamu berangkat sama pulangnya di jemput sama Lingga, Ta,” suara Radit dari belakang mengintruksi. “Berangkat sekarang kamu di antar Lingga dan pulang nanti kamu juga di jemput Lingga.”

“What?” mata Thalita membelalak. Tidak percaya dengan ucapan kakaknya pagi ini. Lingga akan mengantar-jemput lagi? Thalita menggeleng kepala. “Mas, Thalita bisa berangkat sendiri lho.. nggak perlu lah si dia ngantar jemput segala. Kayak ojek saja.” Thalita melirik sinis ke arah Lingga.

Entah kenapa Thalita benar-benar merasa tidak suka pada Lingga. Lingga memang orang baik, Thalita akui itu. tapi Thalita sungguh tidak ada rasa tertarik padanya. Bahkan Thalita selalu merasa dongkol setiap kali bertemu dengan Lingga.

“Jangan membantah ya, Ta. Sekarang kamu nurut sama mas.” Radit mengambil kunci motor Thalita dari genggaman empunya. Sehingga membuat Thalita membuka mulutnya tidak percaya dengan sikap kakaknya ini. “Kunci motor ini mas bawa.”

Thalita berdehem lalu mengembus napas. “Oke, aku bisa naik mobil aku sendiri.”

“Kunci mobil sudah mas pegang juga.”

Thalita benar-benar merasa geram.

“Yasudah, aku mau pesan ojek online saja.” Thalita hendak memesan ojek online namun tangan Radit menggenggam erat pergelangan Thalita. Sehingga Thalita merasa kesulitan menggunakan ponselnya.

Radit menatapnya tajam. “Kamu berangkat sama Lingga sekarang,” ucap Radit penuh penekanan.

Thalita menatap tatapan kakaknya itu. Apa yang dilakukan Radit pagi ini benar-benar sudah kelewatan. Untuk apa Radit menyuruh Lingga mengantar-jemput dirinya? Toh perjodohan diantara mereka juga sudah dibatalkan dan Lingga juga menyetujuinya. Thalita tidak bisa membantah jika Radit sudah bersikap mengancam seperti itu. Sikap garang Radit selalu membuat Thalita melemah dan takut. Terpaksa dia menurut apa yang diperintahkan Radit meski hatinya begitu memberontak. Thalita kemudian berjalan dengan suasana hati yang kesal. Masuk ke dalam mobil Lingga dan menutup pintu mobil itu dengan keras.

Lingga sudah duduk di kursi kemudinya setelah Thalita masuk ke dalam mobilnya. Dia melihat Thalita. Perempuan itu hanya menatap ke depan dengan wajah yang begitu kesal.

“Ta….”

“Kamu ngapain sih nurut aja apa yang disuruh mas Radit?” Belum selesai Lingga berbicara Thalita sudah lebih dulu memotongnya. Dia mengembus napas kesal.

“Maaf, Ta. Tapi aku begini….”

“Stop!” Thalita mengangkat tangannya. “Aku malas bicara sama kamu.” Thalita membuang muka. Dia lebih memilih melihat jalanan daripada melihat wajah Lingga yang semakin membuatnya dongkol. Lingga kemudian melajukan mobilnya.

***

Thalita menghampiri mejanya dengan wajah muram. Paginya benar-benar kacau hari ini. Kacau karena Lingga dan kakaknya. Thalita duduk sambil memijit pelipisnya. Jam masuk kelas masih kurang lima menit lagi. Untungnya tidak ada kemacematan di jalan tadi, jadi Thalita bisa sampai ke sekolah sebelum jam masuk.

“Pagi-pagi muka udah di tekuk mulu, non,” seloroh Rosa dari arah mejanya. Sibuk mempersiapkan buku refrensi mengajarnya pagi ini.

“Aku benar-benar kesal pagi ini.”

“Eh kamu diantar dokter Lingga lagi? Kalau aku nggak salah lihat sih.”

Thalita mengangguk.

“Lagi? bukannya kamu sudah memberikan ultimatum ke dia biar nggak lagi-lagi antar kamu?”

“Mas Radit.”

Rosa mengerut dahi. “Maksud kamu? Kenapa mas Radit?”

“Dia yang nyuruh Lingga untuk antar jemput aku lagi. Ya ampun Rosa…. Bayangkan saja betapa kesalnya aku ketika mas Radit nyuruh aku untuk berangkat sama Lingga dengan tatapan garangnya.” Thalita menggelengkan kepala. “Aku heran deh sama mas Radit, kok sampai segitunya sama aku padahal aku ini ya adiknya sendiri.”

“Kamu buat ulah apa sebelumnya?”

Thalita menoleh. Dahinya juga berkerut. “Ulah? Ulah apa?”

“Ya mana aku tahu. Ya.. kali aja ada sesuatu yang membuat mas Radit berbuat ini ke kamu.” Rosa mengangkat bahunya tidak tahu.

Thalita diam sejenak. Lalu memikirkan sesuatu. “Ah!” dia menjentikkan jarinya.

“Apa?” tanya Rosa penasaran.

“Kemarin aku diantar pulang sama Fadhil,” ucap Thalita sambil menunduk lemas.

“Diantar pulang? Kok bisa?”

Thalita mengangguk. Dia kemudian menceritakan kronologi bagaimana dia bisa diantar pulang sama Fadhil.

“Pantesan mas Raditmu bersikap gitu,” ucap Rosa. “Dia nyuruh Lingga antar-jemput kamu lagi supaya kamu nggak diantar lagi sama Fadhil. Kan kamu tahu sendiri sih Ta… Mas Radit nggak suka sama Fadhil.”

Thalita terdiam. Apa yang dikatakan Rosa memang benar. Sikap Radit tadi pagi karena tidak ingin Fadhil mengantar pulang dirinya lagi. Kenapa kakaknya menjadi jahat seperti itu? Lagian Thalita juga tidak akan mau satu mobil sama Fadhil lagi.

“Yasudah, nggak usah cemberut lagi. Sudah waktunya masuk kelas. Ingat lupakan masalah saat sudah berhadapan dengan anak-anak, oke?”

Thalita menarik napas. Lalu tersenyum. Dia tidak boleh bermuka masam ketika mengajar. Dia harus terlihat ceria di depan anak-anak meski dalam hatinya kesal setengah mati.

***

Thalita mengemasi barang-barangnya. Setelah semuanya beres dia pamit kepada Rosa yang masih standby di mejanya. Rosa sedang menunggu mas Dewa yang sedang dalam perjalanan menjemputnya. “Duluan, ya,” pamit Thalita.

“Dijemput pak dokter?” tanya Rosa.

Thalita mengangguk pasrah. “Terpaksa.”

“Hahaha.. yasudah nikmati saja lah.” Rosa tertawa geli melihat ekspresi Thalita.

Thalita mengumpat. Kemudian dia keluar dari ruang guru. Berjalan menyusuri koridor sekolah. Melewati beberapa kelas. Saat pandangannya mengarah ke arah gerbang sekolah, dia melihat dua mobil sedang parkir disana. Mobil Pajeronya Fadhil sudah berada disana dan satunya lagi mobil Lingga berada disana juga. Sembari berjalan menuju gerbang sekolah, Thalita memutar matanya jengah. Dua manusia yang sama sekali tidak ingin dia temui. Tuhan… kenapa hari ini sial sekali! Umpatnya dalam hati.

“Hai, bu guru cantik,” sapa Lingga saat Thalita berjalan mengarah padanya. Namun sama sekali Thalita tidak membalas recehan Lingga justru dia melirik ke arah Fadhil. Pria itu memandang ke arah Lain. Padahal jarak diantara mereka dekat.

“Om….” teriakan suara Dinda. Gadis kecil itu berlari menghampiri Fadhil. Thalita menoleh. Tentu saja Thalita melihat interaksi antara mereka.

“Jangan lari dong,” ucap Fadhil sambil mengelus kepala Dinda.

“Hehe.” Dinda tertawa. Lalu melihat Thalita. “Lho, ada bu guru?” ekspresi wajahnya terkejut ketika melihat Thalita. “Pulang juga? Apa pulang bareng Dinda lagi, bu guru?”

Thalita refleks kaget. Dia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Dia juga bingung mau menjawab apa.

“Dinda…” panggil Fadhil. Dinda menoleh kepadanya. “Bu guru nggak pulang bareng kita lagi. Sudah ada yang jemput, tuh!” Fadhil menunjuk ke arah Lingga. Dinda menoleh.

“Oh gitu… yasudah deh nggak papa. Lain waktu aja pulang bareng Dinda lagi ya bu guru,” ucap Dinda.

Thalita terdiam. Dia tidak ingin menjawab ucapan Dinda. Jika dia menjawab ‘iya’ itu berarti dia sudah menyetujui akan pulang bersama Dinda di lain waktu. Jadi Thalita hanya diam saja. Dinda pamit dan menyalami tangan Thalita kemudian dia masuk ke dalam mobil Fadhil.

Setelah Dinda berlalu, Thalita hanya diam di tempatnya berdiri. Dia mengamati mobil Pajero milik Fadhil yang sudah menghilang.

“Ta…” panggil Lingga.

Thalita masih dalam pikirannya.

“Thalita….”

Thalita tersentak. Dia kemudian menoleh.

“Masuk.” Lingga membuka pintu mobil. Thalita kemudian masuk ke dalam. Begitupun Lingga setelah memasuki mobilnya dia lalu melajukannya. Dalam perjalanan Thalita hanya diam. Dia lebih memilih memejamkan matanya. Dia tidak menjawab apapun yang dilontarkan Lingga kepadanya. Dia malas.

Lagi. bertemu dengan Fadhil selalu membuat Thalita kembali murung. Hatinya kembali down. Thalita sungguh tidak mengerti dengan hatinya sendiri.

Fadhil…. Kamu memang tidak pernah absen menggangguku.

***

Prajurit Satriya belum waktunya nongol. Tunggu saja...

Thanks for reading...

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now