Lima Belas

3.2K 227 4
                                    

Udara dingin menerobos melalui jendela kaca taksi yang ditumpangi Thalita. Dia sengaja membuka kaca jendela itu agar bisa merasakan semilir angin di malam hari. Pikirannya dipenuhi dengan rasa keraguan. Cinta datang dengan sendirinya… ucapan Satriya itu yang selalu terngiang-ngiang. Mungkinkah dia menerima perjodohan dengan Lingga? Bisakah dia mencintai pria itu? Sedangkan dalam hati kecilnya masih terasa sulit untuk memulai hubungan asmara dengan orang lain, sulit untuk memercayakan sebentuk hatinya kepada orang lain.

Kesendiriannya ternyata telah menjadi masalah. Selepas berakhir hubungannya dengan Fadhil dia pikir tidak akan bertemu dengan pria itu lagi. Meskipun mereka berdua masih keluarga, mudah saja bagi Thalita untuk menghindar jika kemungkinan mereka bertemu dalam acara keluarga. Sebisa mungkin Thalita harus memutar otak bagaimana caranya dirinya tidak akan bertemu dengan Fadhil. Namun takdirnya tidak seberuntung itu. Semua itu di luar harapannya, karena nyatanya skenario tuhan telah membawanya bertemu dengan pria pemberi luka itu lagi.

Bahkan setelah bertemu dengan Fadhil, bukannya Thalita bisa menunjukkan keberhasilannya karena telah berhasil melupakan pria itu, justru dia pun dilema. Kemunculan Fadhil juga membuat Radit menjadi, dengan tetap bersikukuh menjodohkan Thalita dengan Lingga, kalau bisa dipercepat.

Thalita mengembus napas. Menyandarkan punggungnya di kursi kemudi sembari memijit pelipisnya. Beberapa menit kemudian dia sudah sampai di depan rumahnya. Thalita kemudian turun dan segera masuk ke dalam.

Di teras rumah, dia melihat Radit duduk di sana sambil menyesap secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Thalita menarik napas dan tidak akan berbasa-basi dengan kakak laki-lakinya. Kini, Radit bagaikan monster, bukan ditakuti Thalita melainkan ingin Thalita hindari. Sikap Radit sama sekali tidak dimengerti Thalita akhir-akhir ini.

“Pertunanganmu akan diselenggarakan bulan depan.”

Thalita tidak menanggapi. Dia memacu langkahnya dan membuka pintu utama rumah. Setelah pintu itu tertutup, sejenak dia berhenti sembari bersandar pada benda persegi panjang tersebut. Menarik napas dalam-dalam. Keputusan itu benar-benar membuat Thalita lelah. Lelah hati dan lelah pikiran. Tidak ada daya untuk menyangkal. Thalita memilih diam dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Lebih baik mengistirahatkan tubuhnya, juga pikirannya.

***

Tidak ada hal menarik bagi Thalita. Setiap harinya dia harus menguras uangnya hanya untuk mengantar kemanapun dirinya pergi. Radit belum kunjung memberikan kunci kendaraan pribadinya. Thalita juga tidak ingin mengambilnya. Selagi masih ada driver online dia masih bisa pergi, terkadang Lingga banyak sedikit juga mengantarkannya.

Tepat di hadapannya, di gerbang sekolah, dia melihat mobil hitam yang membuat Thalita harus menarik napas berat. Apa setiap hari dia harus bertemu Fadhil lagi? Pandangan Thalita menelusuri pada mobil yang juga tidak asing baginya baru saja sampai di depan gerbang. Pemiliknya, Lingga, tidak lama kemudian turun dan menghampiri Thalita yang sedang berdiri. Tangan Thalita yang sedang menggenggam ponsel, hendak dia gunakan untuk memesan ojek online akhirnya gagal.

Lingga berjalan sambil menatap Thalita yang menampilkan muka masam. “Pulang sekarang, Non?”

Thalita mengangguk.

Oke.”

“Ta.”

Suara Fadhil menghentikan langkah Thalita yang hendak memasuki mobil Lingga. Sebisa mungkin Thalita tidak ingin menoleh.


“Ta.” Fadhil berjalan menghampiri Thalita. Semakin mendekati Thalita. Lingga masih tetap berdiri sambil tangannya memegang handle pintu mobil. Mengamati apa yang akan dilakukan Fadhil. “Bisa kita bicara?” Fadhil berbicara tepat di dekat Thalita.

Thalita perlahan melangkah mundur. Dia memutar tubuhnya berhadapan dengan Fadhil. “Ada apa?” tanyanya dengan raut wajah datar.

“Kita bicaranya jangan di sini.” Arah pandang Fadhil beralih melihat Lingga yang masih terdiam di tempat. “Aku ingin kita bicara di tempat lain. Bisa kamu semobil denganku?”

Thalita terperangah. Dia sama sekali tidak percaya dengan ajakan Fadhil baru saja. ada apa dengan pria di hadapannya saat ini?

“Bicara? Sepenting apakah yang akan kamu bicarakan?”

Fadhil diam sejenak. Dia terus menatap Thalita. “Aku mohon, Ta.”

Thalita mengalihkan pandangannya. Dia juga melihat Lingga. Pria itu tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, hanya sebagai pengamat. Bagaimana Lingga bisa sesantai itu? Justru Thalita yang kini berharap Lingga akan melakukan sesuatu untuknya. Sayangnya, Lingga justru mempersilakan lewat bahasa matanya agar Thalita mau mengikuti apa keinginan Fadhil.

“Sebaiknya kamu pulang, Fadh. Sorry.” Thalita membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Tidak peduli soal Fadhil. Apa yang ingin pria itu bicarakan? Apakah dia ingin meminta maaf atas kesalahannya selama ini? Atau justru ingin merajut kembali benang-benang cinta yang sudah dia putuskan sepihak?

Thalita menarik napas sambil memijit pelipisnya. Dia masih belum bisa memaafkan Fadhil. Hatinya masih terasa tersayat-sayat. Fadhil tidak akan semudah itu mendapatkan maaf darinya apalagi meminta ingin kembali, Thalita sudah tidak menginginkan itu lagi.

Meski perasaannya tidak bisa dia bohongi, namun logikanya memaksa Thalita agar dia tidak melakukan kesalahan itu lagi, andai saja Fadhil benar-benar menginginkannya untuk kembali. Misinya selama ini hanya ingin menyembuhkan kesakitan yang sudah diberikan pria itu.

“Dia ngajakin kamu lho, Ta.” Lingga bersuara setelah menyusul Thalita masuk ke dalam mobil.

“Aku malas ngomong, Ga. Lajuin saja mobilnya.” Thalita meraih bantal karakter hello kitty yang berada di kursi belakang. Sedikit menimang-nimang, bagaimana bisa bantal ini ada di mobil Lingga. Thalita tidak ingin ambil pusing memikirkannya, segera mungkin dia mendekap wajahnya dengan bantal itu. Istirahat sejenak di mobil Lingga tidak akan masalah.

***

“Ta.”

Thalita mendengar suara memanggil namanya, juga merasakan sebuah sentuhan di lehernya. Thalita membuka matanya perlahan. Meski samar dia melihat Lingga tepat di hadapannya. “Lingga!” dia terperanjat, lalu mendorong Lingga hingga tubuh pria itu membentur stang mobil. Tentu saja Lingga mengadu sakit.

“Kamu ngapain dekat-dekat aku? Kamu jangan cari kesempatan di saat aku lagi tidur, ya?” Thalita memperingati sambil kedua tangannya memeluk bantal Hello Kitty berwarna merah muda.

“Kamu su’udzon mulu sih, Ta. Siapa juga yang mau cari kesempatan. Aku cuma mau bangunin kamu. Kita sudah sampai.”

Thalita mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ini bukan rumahnya tapi seperti tempat parkiran mall.

“Aku mau ngajakin kamu makan. Kamu belum makan, kan?” tangan Lingga mengusap puncak kepala Thalita.

“Iya aku belum makan tapi nggak usah pegang-pegang gini.” Thalita menepis tangan Lingga. Dia kemudian keluar dengan perasaan yang sedikit dongkol.

“Ayo!” ajak Lingga saat dia baru saja keluar dari mobil. Thalita mengikutinya sambil merapikan rambutnya yang berantakan.

Sampai memasuki mall, Thalita masih mengekori Lingga. Berjalan sambil menekuri ponselnya. Tiba-tiba Lingga mengambil benda itu dari genggamannya dan membuat Thalita menggerutu.

“Emangnya aku ajudanmu yang jalan di depan untuk ngawalin kamu, Ta? Sini.” Lingga menarik tangan Thalita agar perempuan itu sejajar dengannya.

“Kembalikan HP aku, Ga.” Thalita menggerutu namun Lingga tidak menggubris, justru dia memasukkan ponsel Thalita ke dalam saku celananya. Thalita menarik napas kesal.

“Dokter Lingga”

Baik Lingga maupun Thalita mencari sumber suara yang memanggil nama Lingga. Seorang perempuan berhijab tosca sedang berjalan cepat menghampiri mereka.

“Dokter Shinta, di sini juga?” Lingga mengenali siapa yang baru saja memanggil namanya.

Perempuan bernama Dokter Shinta tersebut tersenyum. Dia juga melihat Thalita, yang masih dalam ekspresi sebalnya. Lingga menatap Shinta, lalu beralih melihat Thalita juga. “Dokter Shinta ngapain di sini?”

“Oh.. aku barus saja nonton,” jawabnya sambil nyengir.

“Sendiri?” Ekspresi Lingga berubah ketika mengetahui Shinta hanya menonton seorang diri.

Shinta mengangguk, lalu tersenyum. “Nonton sama seseorang…” dia menggantungkan ucapannya. “Sepertinya dia sangat sibuk sekali, atau… sedang jalan sama seseorang.” Shinta mengangkat bahunya. “Duluan ya, Dok.”

Lingga memperhatikan punggung Shinta yang sudah berlalu. Lama sekali dia mengamati perempuan itu sampai keberadaanya sudah menghilang. Hingga kesadarannya kembali saat merasakan ponsel Thalita bergetar.

Mas Satriya : Adek, apa kabar?

Dahi Lingga berkerut. Jemarinya sudah siap membalas pesan itu. Namun Thalita lebih dulu mengambil ponsel miliknya dan cepat-cepat melihat siapa yang sudah mengirim pesan. Thalita lalu menatap Lingga. Ada sedikit kecemasan kali ini.

***

Sudah lama ya nggak update?

Aku ganti judulnya ya... Sekalian mau minta pendapat kalian ini gimana sih cerita bu guru Thalita menurut kalian?

Komen dan vote aku tunggu...

Thanks for reading...

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now