Tujuh Belas

3K 202 0
                                    

Setelah membantu Mama Hera di dapur, Thalita ikut sarapan bersama anggota keluarganya. Pandangannya menuju ruang keluarga yang dapat dijangkau dari dapur rumah, Radit baru saja memunculkan diri dan kini sedang berjalan menuju meja makan bersama Lingga.

Thalita mengembus napas, lalu kembali menyendok sarapannya. Pemandangan seperti itu sudah biasa dia lihat. Lingga sudah terlalu sering numpang makan di rumahnya. semua itu menjadi kebiasaan bagi Thalita.

Seringnya bertemu dengan Lingga, sama sekali tidak membuat Thalita untuk sedikit saja memperhatikan sosok Lingga. Thalita masih biasa saja dengan kehadiran Lingga yang selalu tidak pernah absen ada di setiap hari-harinya.

“Waduh.. ada sayur sup sama ayam kecap. Menu spesial ya, Tante?” tanya Lingga setelah mendudukkan dirinya di kursi. Disusul dengan Radit juga sama, duduk di dekat Papa Syarif, tepat di hadapan Thalita.

Thalita masih tidak peduli. Dia masih sibuk dengan makanan di piringnya.

“Ini Thalita tadi yang masak," kata Mama Hera.

Radit yang baru saja meneguk air putih menjadi tersendak seketika. “Beneran? Tumben?”

“Belajar jadi istri yang baik katanya,” kata Mama Hera sambil nyengir menggoda. Thalita melirik sebal ke arah mamanya. Sedangkan Lingga hanya tersenyum sambil menatap Thalita yang sedang menampilkan wajah cemberutnya.

“Thalita sudah selesai. Duluan ya.” Thalita berdiri, mengucapkan kata pamit sebelum meninggalkan meja makan.

Radit mengerutkan kening. “Kita belum selesai. Duduk saja dulu.”

“Nggak. Thalita setelah ini mau pergi.”

Radit melepaskan genggaman sendoknya hingga menghasilkan bunyi yang nyaring. “Mau kemana?” tanyanya dengan menatap tajam Thalita.

“Kenapa?”

“Kamu pergi setelah Lingga selesai sarapan. Dia akan menemani kamu.”

Thalita kembali duduk. Dia menumpu dagunya dengan tangan kirinya. Pandangannya menatap Lingga. “Dokter…..” panggil Thalita suara sedikit menggoda. Lingga menoleh. “Emangnya dokter mau nganterin aku shopping?” senyum licik sengaja Thalita sunggingkan. “Kalau mau sih nggak papa. Aku juga nggak keberatan kok. Rosa pasti senang acara shopping-nya ditemani pak dokter. Gimana pak dokter Lingga, mau menemani kita shopping hari ini?” Thalita mengerling jail.

Lingga berdehem. Tangannya meraih gelas air putih di sebelah piringnya lalu meneguknya hingga setengah. “Kamu bisa pergi sendiri, Ta. Kegiatan menemani perempuan belanja kayaknya tidak baik buat kesehatan mental laki-laki.”

Senyuman miring terbit dari sudut bibir Thalita. “Oke.” Thalita beranjak, lalu meninggalkan semua orang di meja makan.

Embusan napas berkali-kali Thalita lakukan saat sedang menaiki tangga menuju kamarnya. Tidak seharusnya dia bersikap seperti itu di depan kedua orang tuanya. Terkesan tidak sopan berbicara seperti itu kepada Lingga. Namun Thalita tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Keluarganya sudah membuat permainan yang membuat Thalita terasa sesak napas memainkannya.

Pikirannya masih teringat tentang pertunangannya yang semakin bisa terhitung dengan jari. Hari pertunangan itu semakin dekat. Thalita merasakan sistem otaknya tidak berfungsi dengan baik. Dia tidak punya cara apapun untuk membatalkan pertunangan itu. Tidak ada seseorang yang memihaknya. Biasanya dia selalu menceritakannya kepada Fino, namun kakak sepupunya itu sedang berada di luar kota karena ada tugas kepolisiannya. Fino juga sulit untuk dihubungi. Katanya di sana sinyal susah dijangkau. Akhirnya dia memilih untuk bertemu dengan Rosa, karena meskipun setiap di sekolah mereka selalu bertemu namun tidak baik membicarakan pertunangan yang tidak diinginkan itu di area sekolah, apalagi akhir-akhir ini ruang guru tidak dihuni oleh mereka saja.

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now