Dua Puluh Sembilan

3.3K 214 20
                                    

Benda persegi berwarna merah muda Thalita letakkan di atas meja kerja milik rekannya. Hari ini begitu malas sekali rasanya. Detik-detik menunggu libur sekolah seperti sudah menanti. Penghuni sekolah, terutama dewan guru, hanya disibukkan dengan penilaian akhir semester.

“Undangan siapa ini?” tanya Rosa. Dia baru saja dari kamar mandi.

“Undangan pertunanganku,” jawab Thalita sambil kembali ke mejanya. Tumpukan buku laporan milik anak-anak didik sudah siap dan harus segera dia kerjakan.

“Wah akhirnya kamu tunangan juga sama dokter itu, Chukhahaeyo.”

Thalita mengerut dahi. “Kamu ngomong apaan, sih?”

“Bahasanya oppa-oppa Korea.” Rosa  cengar-cengir. Perempuan itu memang suka sekali dengan tontonan dari negeri Gingseng itu. Tidak heran jika dia menggunakan bahasa asing yang sama sekali tidak dimengerti Thalita. Untungnya, hanya kepada Thalita saja Rosa menggunakan bahasa itu. Ketika sama Dewa, tentu saja pacarnya itu merasa geli.

“Susah kalau sudah berurusan sama fangirl-nya Lee Min Ho.” Thalita menggelengkan kepala. Dia kemudian sibuk dengan laptop di depannya.

“Ta.”

“Hem?”

“Mas Satriya pagi tadi berangkat tugas ke Papua.”

Thalita menghentikan tangannya saat mulai mengutak-atik laptop. Dia terdiam.

“Kok kamu diam aja, Ta,” ucap Rosa kembali.

“Aku sudah tahu, kok,” balas Thalita. Dia kemudian menceritakan pada Rosa tentang pertemuannya dengan Satriya. “Mas Dewa tugas ke sana juga ‘kan? Apa cuma Mas Satriya doang?”

”Mas Dewa juga ikut, kok. Yah…niatnya tahun ini kita mau tunangan eh dia malah ada tugas ke Papua selama satu tahun,” ucap Rosa. Terlihat dari wajahnya yang begitu sedih. Dia dan Dewa memang sudah berhubungan sejak lama, tetapi takdir membuatnya harus terpisah jarak lagi.

“Kamu sabar banget menjalani hubungan sama Mas Dewa.”

“Ini risiko pacar tentara, Ta. Beruntunglah kamu sama dokter Lingga, dia selalu ada setiap saat. Tapi bukan berarti aku kurang beruntung jadi pacar Mas Dewa, justru ini adalah ujian dari hubungan kita. Ujian kesabaran dari penantian.” Kali ini Rosa berbicara serius. “Sejak awal dia ingin mengajakku pacaran juga menjelaskan kalau jadi pacar tentara itu harus banyak sabarnya. Dan aku siap dengan itu, kok. Aku menerima dia bukan karena seragamnya, melainkan kesungguhannya yang nggak pernah main-main ke aku. Semoga tahun depan lagi nggak ada halangan buat kita tunangan, kalau langsung nikah malah lebih bagus.” Rosa mengangkat bahunya, pandangannya menerawang jauh, membayangkan entah bagaimana yang akan terjadi dalam hidupnya.

“Semoga apa yang kamu harapkan segera terwujud,” ucap Thalita.

***
Hari bahagia yang sudah dinantikan keluarga Thalita akhirnya tiba. Malam ini adalah hari pertunangan Thalita dan Lingga. Pertunangan itu diselenggarakan di kediaman rumah orang tua Thalita. Semua sudah dipersiapkan begitu sempurna. Para tamu undangan sebagian sudah ada yang datang, kebanyakan dari rekan bisnis Syarif dan juga Radit.

Berbeda dengan Thalita. Gemerlapnya pesta malam pertunangannya tidak seperti perasaanya saat ini. Dia bingung. Tiba-tiba rasa sedih menghantuinya kembali. Thalita ragu, apakah dia harus menjalani pertunangan ini? Apakah dia harus memaksakan hidupnya demi kebahagiaan orang sekitarnya? Sedangkan dirinya sendiri tidak merasakan bahagia.

Baik-baik dengan calon suamimu. Cintai dan sayangi dia. Hilangkan segala keraguan yang selama ini sudah mengganggumu.

Thalita kembali teringat kalimat yang dikatakan Satriya tempo hari di malam perpisahan sebelum keberangkatan pria itu ke Papua. Dia harus mencoba menghargai Lingga sebagai calon suami yang sudah ditetapkan untuknya. Suami yang sudah mendapatkan restu dari keluarganya.

Tiba-tiba Thalita ingin menelepon Satriya. Dia ingin bercerita sedikit dengan pria itu. Namun, saat dia mencoba menelepon, ponselnya sedang tidak aktif.  “Lagi sibuk kayaknya,” gumam Thalita.

Seseorang mengetuk pintu kamar Thalita. Dia kemudian meletakkan ponselnya dan membuka pintu itu.

“Mbak Thalita sudah dipanggil Ibu di bawah,” kata Mbak Nana. Dia adalah asisten pribadi Papa.

“Apa Lingga sudah datang, Mbak?” tanya Thalita.

Mbak Nana mencoba mengingat. “Belum kayaknya. Orang tua Lingga masih mencoba menghubunginya karena sampai sekarang belum datang. Apa dia tidak menghubungimu?”

Thalita menggelengkan kepala. “Mbak Nana duluan saja, nanti aku nyusul. Aku coba hubungi Lingga dulu.” Mbak Nana mengiyakan dan Thalita kembali masuk untuk mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Lingga.

Beberapa kali Thalita mencoba menghubungi, tetapi belum ada jawaban. Hingga Thalita putus asa dan lebih memilih untuk menyusul ke bawah. Sudah banyak tamu yang hadir di malam pertunangannya. Orang tua Lingga juga sudah datang, tetapi dia sama sekali tidak melihat pria itu. Tiba-tiba pandangan Thalita melihat sosok yang sedang bergurau dengan balita. Itu Fadhil. Melihat Fadhil, Thalita merasakan kembali gemuruh di dadanya. Namun, dia berusaha untuk menenangkan hatinya. Dengan Lingga, dia akan meniti kembali perasaannya yang sudah hancur karena Fadhil.

“Pa, Ma,” panggil Thalita menghampiri mereka.

Syarif memberikan Thalita isyarat agar lebih mendekat. “Kamu sudah telepon Lingga? sampai sekarang dia belum datang juga,” kata Syarif.

“Sudah beberapa kali Thalita telepon, tapi sama sekali nggak ada jawaban.”

Thalita merasa ada yang aneh dengan Lingga. Sejak tadi pagi pria itu tidak menghubungi Thalita. Dan sekarang pria itu sulit sekali dihubungi. Ada apa dengan Lingga? Tidak biasanya Lingga seperti ini.

Waktu sudah menginjak pukul delapan malam, tetapi sampai saat ini Lingga belum juga tiba. Thalita gelisah. Sejak tadi Lingga tidak menjawab panggilan teleponnya apalagi balik menelponnya. Sekarang ponselnya justru tidak aktif.

“Mas Radit sudah coba hubungi Lingga?” tanya Thalita, melihat Radit sedang sibuk dengan ponsel di telinganya.

“Ponselnya nggak aktif.”

Thalita semakin gelisah. Dia takut terjadi apa-apa dengan Lingga. Takut jika Lingga mengalami kecelakaan seperti kisah-kisah yang pernah dia tonton di televisi.

“Ah, itu tidak mungkin. Kamu udah ngelantur jauh, Ta.” Thalita memukul pelan dahinya sendiri, menghilangkan kekonyolannya itu. Dia berharap semoga tidak terjadi apa-apa dengan Lingga.

“Kenapa, Ta? Kamu cemas karena Lingga belum juga datang?” Fadhil tiba-tiba menghampiri Thalita yang sedang sendiri. Keluarganya sedang menyambut beberapa tamu undangan yang datang. “Dari awal aku sudah bilang, hentikan pertunanganmu sebelum kamu menyesal akhirnya.”

Thalita menatap murka ke arah Fadhil. Dia begitu kesal dengan pria itu. “Rencana jahat apa yang sedang kamu lakukan?”

“Astaga, Ta! Kamu suuzon terus sama aku. Aku hanya mengingatkan bukan sedang melakukan rencana jahat.”

Setelah mengucapkan itu, Fadhil kemudian berlalu. Thalita tidak mengerti apa maksud dibalik ucapan Fadhil.

***

Silakan berasumsi sendiri.
Kira-kira Lingga ke mana yaa?? Emak juga cari-cari dia. Apa dia lagi main petak umpet sama pasiennya?

Thanks for reading

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt